Strategi Menjual dengan Story Telling di Candi Borubudur
Lebaran lalu (3 Agustus 2014), kami sekeluarga wisata ke Yogyakarta dan Candi Borobudur di Magelang. Meili dan Mbahnya pengin banget ke Candi Borobudur. Ini merupakan kunjungan perdana Meili dan Mbahnya. Kata Meili ingin melihat peninggalan Istana Ratu Balqis yang dipindahkan oleh Nabi Sulaeman.
Aku memang cerita ke Meili, Candi Borubudur selain dari catatan sejarah Candi Borubudur yang merupakan peninggalan agama Budha yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra pada abad ke-8, juga mencoba memberikan persepsi lain. Bisa jadi candi Budha terbesar di dunia ini memang merupakan salah satu bukti kebesaran Nabi Sulaeman. Hmm..mungkin saja. Aku tidak mau berpanjang-panjang menulis tentang polemik tersebut. Om Google sudah banyak membahasnya :)
Aku hanya ingin bercerita tentang pedagang-pedagang di Candi Borobudur yang berkesan. Kami sampai ke Borobudur dari Yogya sekitar pukul 10:00 Wib. Udara cerah sekali. Alhamdulillah, bisa lebih lama menikmati suasana candi, pikirku. Aku siap dengan kaca mata hitamku. Meili dan Barra pun sudah siaga dengan topi barunya yang dibeli dari seorang pedagang topi. Cukup banyak juga pedagang bersileweran menghampiri setiap tamu yang baru turun dari mobil. Meski kami sudah membawa topi, para pedagang yang kebanyakan ibu-ibu setengah baya tetap gigih menawarkan barang dagangannya. "Sudah beli Bu, makasih ya !", jawabku berulang-ulang sambil berlalu. "Beli lagi Neng,..!" Hehe si Ibu tetap usaha.
Perlahan-lahan matahari menunjukkan kegarangannya. Untungnya di loket suasananya nyaman. Ada kipas angin besar bersembur air, menyejukkan antrian pengunjung. Lama juga kami duduk-duduk di area loket sambil menunggu suami beli tiket.
Sebelum menelusuri candi, kami menikmati sejumlah fasilitas di area candi. Meili dan Barra nonton film tentang pendirian Candi Borobudur, bermain dengan badut-badut lucu, memperhatikan perajin membatik, dan naik kereta keliling. Udara di taman-taman dengan pepohonan rimbun memberikan kesejukan tersendiri.
Jarum jam menunjukkan pukul 12:00-an. Suasana di taman masih asyik untuk leyeh-leyeh. Apalagi di hamparan rumput itu banyak pedagang melapak. Badan-badan Candi Borubudur terlihat jelas dari taman. Ibuku pun begitu menikmati suasananya. Hmm...panas kali ya. Nggak tega juga mengajak ibuku, Meili dan Barra menaiki tangga candi. Kami memutuskan menunggu matahari bersinar ramah, sambil makan siang lesehan bermenu gudek.
Tak berapa lama kami duduk-duduk yang disediakan, pedagang hilir mudik menawarkan barang dagangan. Mulai dari gantungan kunci berbentuk candi Borobudur, Prambanan, kaos, tempelan kulkas, pulpen bermotif ukiran batik, asbak, sampai wayang kayu. Harga yang ditawarkan cukup murah. Gantungan kunci ditawarkan Rp 3000-an. Sedangkan untuk pulpen bambu bermotif ditawarkan "keroyokan', Rp 5000 dapat 5 pulpen. Kami membeli beberapa gantungan kunci, tempelan kulkas dan asbak untuk oleh-oleh.
Hmm...karena kami lumayan "membeli", seorang bapak setengah tua menghampiri dan tersenyum manis kepada kami. Di bahu kanannya, tergendong sebuah bawaan besar. Menyembul di sela-sela seonggok wayang kayu. Bisa ditebak, ia akan menjajakan dagangannya kepada kami. Aku menoleh ke suamiku yang tampak menikmati suasana. "Mas, ada yang jual wayang. Tertarik nggak? tanyaku. Tanpa komentar, suamiku hanya tersenyum ketika bapak itu dengan senyum lebarnya menyapa kami. Jujur, aku ingin langsung mengaba-aba menolak jualan bapak itu. Karena, pasti harganya mahal.
Benar saja, bapak itu langsung menawarkan wayang kayunya kepada kami. Setengah berbisik, dekat sekali ke telinga suamiku. Aku jadi tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Suamiku mengangguk-angguk saja. Hmm..jangan-jangan suamiku mau membelinya.
"Berapa pak topeng kayunya ?" tanyaku. " Rp 150 ribu bu, sepasang." jawabnya singkat, tetap dengan senyum yang mengembang. Garis-garis tua eksis di wajahnya. Sesekali ia basuh keringat di keningnya. Timbul iba di hatiku. Ia mengamati anakku Meili yang asyik menikmati makan siangnya. Lamat-lamat terbukalah obrolan ringan diantara kami.
Rupanya, pria yang mengaku bernama Gimin itu sudah berjualan kerajinan di kawasan wisata Borobudir sejak tahun 1981. Ini sebagai kompensasi atas gusuran rumahnya yang terkena proyek pengembangan Candi Borobudur. Penduduk yang terkena gusuran, diberikan izin untuk berdagang di sekitar Borobudur.
Bapak beranak dua sekaligus kakek bercucu satu ini berbagi tips kehidupan. Pembicaraannya filosofis, sarat dengan baik-bait Kejawen yang kerap bapakku ajarkan kepadaku, bahwa hidup ini sejatinya sudah ditentukan takarannya oleh Gusti Allah. Dan, setiap diri apapun yang diperbuat, baik maupun buruk, ada balasannya. Ia juga bercerita tentang mistis di kawasan Candi Borobudur. Ya..obrolan jadi panjang, karena aku terus bertanya dan bertanya. Hmmm..suami lagi-lagi tak berkomentar, khas dia banget.
Tak berapa lama kami duduk-duduk yang disediakan, pedagang hilir mudik menawarkan barang dagangan. Mulai dari gantungan kunci berbentuk candi Borobudur, Prambanan, kaos, tempelan kulkas, pulpen bermotif ukiran batik, asbak, sampai wayang kayu. Harga yang ditawarkan cukup murah. Gantungan kunci ditawarkan Rp 3000-an. Sedangkan untuk pulpen bambu bermotif ditawarkan "keroyokan', Rp 5000 dapat 5 pulpen. Kami membeli beberapa gantungan kunci, tempelan kulkas dan asbak untuk oleh-oleh.
Hmm...karena kami lumayan "membeli", seorang bapak setengah tua menghampiri dan tersenyum manis kepada kami. Di bahu kanannya, tergendong sebuah bawaan besar. Menyembul di sela-sela seonggok wayang kayu. Bisa ditebak, ia akan menjajakan dagangannya kepada kami. Aku menoleh ke suamiku yang tampak menikmati suasana. "Mas, ada yang jual wayang. Tertarik nggak? tanyaku. Tanpa komentar, suamiku hanya tersenyum ketika bapak itu dengan senyum lebarnya menyapa kami. Jujur, aku ingin langsung mengaba-aba menolak jualan bapak itu. Karena, pasti harganya mahal.
Barra bermain-main dengan topeng kayu. |
Benar saja, bapak itu langsung menawarkan wayang kayunya kepada kami. Setengah berbisik, dekat sekali ke telinga suamiku. Aku jadi tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Suamiku mengangguk-angguk saja. Hmm..jangan-jangan suamiku mau membelinya.
"Berapa pak topeng kayunya ?" tanyaku. " Rp 150 ribu bu, sepasang." jawabnya singkat, tetap dengan senyum yang mengembang. Garis-garis tua eksis di wajahnya. Sesekali ia basuh keringat di keningnya. Timbul iba di hatiku. Ia mengamati anakku Meili yang asyik menikmati makan siangnya. Lamat-lamat terbukalah obrolan ringan diantara kami.
Rupanya, pria yang mengaku bernama Gimin itu sudah berjualan kerajinan di kawasan wisata Borobudir sejak tahun 1981. Ini sebagai kompensasi atas gusuran rumahnya yang terkena proyek pengembangan Candi Borobudur. Penduduk yang terkena gusuran, diberikan izin untuk berdagang di sekitar Borobudur.
Bapak beranak dua sekaligus kakek bercucu satu ini berbagi tips kehidupan. Pembicaraannya filosofis, sarat dengan baik-bait Kejawen yang kerap bapakku ajarkan kepadaku, bahwa hidup ini sejatinya sudah ditentukan takarannya oleh Gusti Allah. Dan, setiap diri apapun yang diperbuat, baik maupun buruk, ada balasannya. Ia juga bercerita tentang mistis di kawasan Candi Borobudur. Ya..obrolan jadi panjang, karena aku terus bertanya dan bertanya. Hmmm..suami lagi-lagi tak berkomentar, khas dia banget.
Semilir angin berhembus syahdu ketika Pak Gimin bercerita. |
Bagi Pak Gimin kebahagiaan itu begitu sederhana, ia hanya meminta kepada Tuhan diberi kenikmatan memperoleh rezeki yg halal dan diridhoi. "Permintaan saya hanya dua, yaitu memiliki badan yg sehat utk bekerja dan Tuhan meridoi setiap yg saya dan keluarga lakukan." katanya.
Ia pun mengingatkan kepada kami agar selalu mendoakan orang lain dan para leluhur. Semakin kita banyak mendoakan keselamatan dan kebahagiaan orang lain, maka itu akan berpulang ke kita juga. Tidak ketinggalan, ia berbicara tentang politik dan Jokowi. Ahh...pas banget dengan seleraku. Barra dan Meili jadi antusias mendengar wejangan bapak 65 thn yg juga pandai mengurut ini.Tanpa terasa satu jam lebih ia bersama kami.
Hehe, by the way, bagaimana dengan jualannya ? Ternyata, itu tak dilupakannya meski kami sudah larut dalam cerita. Pelan-pelan, ia tawarkan kembali dengan harga spesial. Suamiku yang sedari awal tak berkomentar, goyah juga. "Kurangi ya harganya..." tawar suami dalam bahasa Jawa, sambil memegang sepasang topeng kayu Rama dan Shinta. Tak ingin kehilangan momen, Pak Gimin langsung menyambutnya. Ia tawarkan harga paket, topeng kayu Rama-Shinta plus 5 wayang kayu Pandawa. Bagus juga wayangnya..Akhirnya deal. Pak Gimin memberikan harga 'spesial"..Kalo tidak salah hampir 200 ribu.
Harga "paket spesial" yang kami kira murah, nyatanya di luar taman, banyak pedagang menjual harga dibawahnya.. Wahh...heheh suamiku hanya tersenyum. "Lah...ini lebih murah !" cerita suamiku yang menemui wayang-wayang itu dijajakan sejumlah pedagang di area luar..
hehehe... yang mahal bukan wayangnya mbae tapi wejanganya.
BalasHapusxixixi ya, kami membayar lebih utk waktu bapaknya :)
HapusIlmu dagang nih mbak.. kita jd sungkan udah ngobrol ngalor ngidul tapi ga jadi beli.
BalasHapusYa, anggap aja charge beliau cerita. Xixi