Jual Daster Batik

Jual Daster Batik

Pendidikan Tinggi, Tidak Jaminan Orang Bisa Kerja




Mumpung lagi hangat soal pendidikan rendah Ibu Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti yang sukses jadi bahan nyiyiran di media sosial, aku jadi ingat tentang adikku, Mahyudi Khautama. Nggak nyangka juga sih, si bungsu ini berhasil jadi pria mandiri. Padahal, di jaman sekolah dulu, aduuh bikin tepok jidat.

Keluarga kami bukan dari keluarga kaya. Jadi, saya bisa mengerti mengapa bapakku geram dengan pola tingkah adikku yang "malas" sekolah. Dan, sepertinya, ia tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Sepertinya, dia sejak kecil tidak suka sekolah. Nilai-nilainya kebakaran kalau saat ambil raport. Bapak sampai malu. Sedangkan dua kakakknya lumayan berprestasi, termasuk aku yang selalu Alhamdulillah cemerlang. Apalagi adikku, swesti, selalu rangking tiga besar sejak SD. Kami pun berdua melenggang cantik ke perguruan tinggi negeri. Aku di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran dan swesti di Fakultas Teknk Busana, Universitas Negeri Jakarta.

Yudi ? hmm bikin ngelus dada. Dia sama sekali tidak mau belajar. Sukanya main terus. Tapi telaten kalau diminta membuat sesuatu prakarya, seperti membuat layang-layang, dan sebagainya. Guru-gurunya baik di SD maupun SMP, sudah pasra. Boleh dibilang, dia bisa naik kelas karena kebijakan. Waktu kelas 2 SD, bapakku tidak meminta Yudi dinaikkan. Karena memang belum bisa membaca dan berhitung. Terus berlanjut sampai kelas 6. Nilainya ngepas terus. Tapi kalau minta beli buku, paling kenceng. Inginnya semua buku dibeli. Tapi ga pernah dibaca. Aku juga waktu itu sudah nggak ada waktu untuk memperhatikan adikku ini. Karena sudah stress juga belajar. Sekolah unggulan di SMU 78 Kemanggisan Jakarta Barat, banyak menguras pikiranku. Aku juga belum mengerti tentang pendidikan. Jadi ya..menyalahkan adikku terus kalau malas belajar.



Sedih juga memikirkn adikku jika tidak berubah. Apalagi dia cowok satu-satunya di keluarga kami. Calon kepala keluarga. Kalo malas, bagaimana hidup anak-istrinya. Ini yang suka bikin aku gemas. Dia memang cenderung dimanjakan oleh ibuku. Apa aja keinginannya selalu dipenuhi kalau ada rezeki sehingga menganggap segalanya mudah.Sampai akhirnya lulus SMU. Aku dah wanti-wanti ke dia untuk mandiri, dan jangan merepotkan orang lain. Apalagi merepotkan orang tua yang justru harus dibantu.

Sejak SMU dia suka main band. Sepertinya hobinya bermain band mengalahkan pelajarannya di sekolah. Dia gigih belajar band dari teman-temannya. Uang jajannya habis cuma buat sewa studio. Sampai akhirnya, dia bisa memukul drum. Bahkan kata teman-temannya, Yudi bagus nge-drumnya. Dia kerap dilibatkan dalam berbagai pementasan grup band yang berbeda. Dia juga punya grup sendiri. Tapi sesekali waktu dia menerima kesempatan main dengan grup band lain. Dibayar ? Dia ngaku sih nggak. Cuma makan siang atau minum doang. Karena masih setingkat festival seni sekolah-sekolah. Dan, karena pementasan di sebuah sekolah pula, ia ketemu jodohnya. Tina Emeraldi Hutama.


Aku mulai memahami dunia adikku. Rupanya dia passionnya di seni. Dia juga bisa menulis lagu dan bermain gitar.Beberapa kali aku dipamerkan syair-syair lagunya. Bagus juga, bertema cinta dan persahabatan. Dia pernah juga serius membentuk grup band. Aku pun beberapa kali suka promosi keahlian adikku kepada teman-teman yang punya link ke pencari bakat. Hingga aku kenalkan dia ke temennya temenku di PMI. Katanya dia mantan manaajer sebuah grup band terkenal. Terjadilah hubungan antara manajer dan talentnya selama beberapa bulan. Kemudian, karena suatu alasan mereka tidak melanjutkan kerja sama lagi. Padahal adikku sudah memberikan lagu-lagunya yang direkam dari hasil menyisihkan uang jajannya. 

Karena sering nongkrong di studio, ia ditawari juga menjadi guru privat drum. Dan sering menjadi additional player. Kala itu, ia sudah berpacaran dengan Tina Emeraldi Hutama,cewek yang ditemuinya saat pementasan di sebuah SMK di Jakarta Pusat. Si pacarnya ini kurang senang jika Yudi bermain band. Mereka sering ribut karena hal ini. Sempet putus juga beberapa kali.

Dalam perjalanannnya, dia menyadari dunia band belum bisa memberikan hasil yang bagus. Memang butuh proses yang lumayan panjang jika untuk sukses di dunia musk. Apalagi adiiku juga bukan orang yg pandai menjual dirinya. DIbayar dan ngga dibayar dia mau aja, asal bisa mukul drum. Aku warning ke dia, agar mencoba melamar pekerjaan. Alhamdulillah, dia pun nurut dan nggak gengsian.

 Awalnya dia menjadi marketing online kartu kredit. Gajinya dibawah Rp 500 ribu. Tak berapa lama ia melamar lagi jadi cleaning service di sebuah perusahaan outsoursching. Aku nggak menyangka juga adikku mau menerima pekerjaan itu. Gajinya juga tidak sampai Rp 500 ribu. Aku tahu adiiku ini lumayan pemalas bersih-bersih di rumah. Kok mau juga jadi cleaning service di kantor. Gimana kalau tidak bersih, dia bisa dimarahin.


Dengan ditraing selama beberapa hari, Yudi lumayan cukup rapi dalam bekerja. Dari jam 7 pagi dia sudah membersihkan seluruh ruangan. Kemudian dilanjutkan lagi setelah makan siang. Jadi dua kali mengulang pekerjaan yang sama di pagi dan sore hari. Dia suka ngeluh juga karena bosnya cerewet, nggak boleh lihat orang duduk-duduk santai. Langsung disuruh kerja. Padahal kerjaannya sudah beres. Tapi ditabahin aja semuanya. Sampai akhirnya, dia dioper ke Bank BCA, Menara BCA, Slipi, Jakarta Barat. 

Untuk kepentingan tertib administrasi, Yudi dan teman-temannya diminta bikin CV dan interview dengan HRD. CV-nya juga aku yang buatin. Aku tambahi pengalaman kerja sebagai pengajar drum privat.

Hmm rupanya, pengajar privat drum ini menarik hati HRD BCA. Dalam proses interview yang ditanya bukan berkaitan cleaning service atau office boy, tetapi malah soal aktivitasnya nge-bandnya. Tak tahu apa yang dibisikkan Tuhan kepada HRD itu sehingga dari kalo tidak salah empat orang temannya, hanya Yudi yang dipisahkan. Dia ditawari jadi karyawan kontrak di bagian pembuat kartu ATM di BCA. Ruang kerjanya pun khusus seperti aquarium yang tersterilisasi. Dan, kata Yudi hanya dia yang tamat SMK. Yang lainnya minimal D3. Lama juga Yudi bekerja di BCA. Kurang lebih 3 tahun. 

Dunia band tetap tidak bisa dicabut dari passionnya. Sepulang kerja, dia menyempatkan diri nge-drum hingga larut malam. Aku prihatin dengan kondisi fisiknya. Tapi dia tidak merasa letih. Sampai suatu ketika ada sesuatu kejadian yang memaksanya untuk keluar dari situ. Ya, ada kesalahpahaman diantara temannya sehingga reputasinya jatuh dan dia harus keluar dari BCA. 

Dia tidak putus asa. Pasti ada hikmahnya dibalik kejadian itu. Intinya dia tidak boleh sembarangan dan harus pandai mengendalikan emosi. Ya, adikku ini emosinya suka tinggi. 

Aku carikan lowongan pekerjaan di koran. Alhamdulillah ada kesempatan di sebuah perusahaan seluler. Mereka tidak mencari yang expert, tapi mau kerja. Karena, nanti akan ada pelatihan dan training. Kembali Yudi aku buatkan lamaran dan diterima. Ia ditraining kurang lebih sebulan sampai ditempatkan di Cempaka Mas.  Seluler Shop, dengan bos India. 

Alhamdulillah adikku menemukan passionnya di situ. Dia cepat sekali menangkap ilmu handphone. Dia juga tanggung jawab dan rajin. Tak heran jika penjualannya bagus dan mendapatkan apresasi dari bosnya. Dengan modal kerja menjadi penjaga toko seluler, dia memberanikan diri untuk melamar pacarnya itu. 

Setelah menikah, prestasinya semakin bagus. Dia mulai diincar berbagai kompetitor. Dasar akal-akalan perusahaan, Yudi dengan berbagai cara terus ditahan sehingga tidak bisa keluar. Sementara dia tidak mendapatkan hasil yang menggairahkan. Bonusnya suka telat. AKhirnya Yudi nekat dan tidak mau lagi percaya dengan janji-janji akan menaikkan gaji. Yang dia pikirkan, bonusnya bisa keluar cepat. Jangan sampai berbulan-bulan. Dengan dorongan aku, akhirnya dia mau juga risain dan menerima tawaran LG sebagai trainer. Alhamdulillah gajinyaa naik dua kali lipat lebih. 

Kini, hampir dua tahun ia memberikan pelatihan kepada new comer LG di toko-toko seluler yang tersebar di sejumlah kota di Jakarta. Bahkan setiap ada produk baru, tugasnya adalah memberikan trainer. Selain itu, ia juga mensupervisi kinerja sales-sales LG di berbagai toko seluler. Hmm pekerjaann yang sejatinya adalah lulusan sarjana.

Semoga selalu sukses aja ya Yud dan diberkahi kebahagiaan bersama keluarga. Jaga kesehatan, jangan banyak merokok. Kurangi juga makan mie instan.

Prestasi Pengamen Jalanan Itu..



Sejak risain dua tahun lalu, sudah cukup lama juga aku tidak menjamah kehidupan jalanan di malam hari. Melihat dari dekat aktivitas pengamen yang dengan awasnya mata mereka melihat kondisi di dalam bis untuk ' live performance'.

Mereka bernyanyi riang, tertawa lepas, dan bersenda gurau dengan sesamanya. Sesekali waria menyambangi sambil menawari sebatang rokok..Keriuhan tetabuhan gendang bersama iringan melodi gitar dan seruling yg dimainkan sekelompok pengamen yang aku jumpai di terminal Blok M malam itu terlihat berbeda. Mereka bukan pengamen sembarangan. Iramanya mengalun teratur, enak didengar. Betah juga aku berlama-lama di sekitar mereka.

Tampak salah seorang dari mereka canggung memetik gitar ketika aku perhatikan..Sementara, teman-teman lain tersenyum enteng. Tanganku pun mulai antusias mengabadikan.
"Mba, kalo mau lihat kami tampil, besok mba di Grand Indonesia jam 10 pagi (23/10)," ujar Mas Coki, yang ternyata adalah "komandan"nya.

"Memangnya ada acara apa besok di Grand Indonesia ?" tanyaku mengakrabkan diri.
"Kami masuk final lomba musik ( saya lupa apa nama kompetisinya). Doain ya mba semoga menang." kata pria bertubuh ceking bertato temporer.



"Aamiin..Semoga berhasil ya. Hadiahnya apa nih ?" tanyaku. "Ada trophi dan uang 30 juta utk juara 1," jawab Mas Coki. Rupanya ia pernah kuliah di STISI Bandung dan beberapa akademi seni di Jakarta.
"Wahhh lumayan ya..!" ujarku. "Alhamdulillah mba. Hanya kami sendiri yang berasal dari pengamen jalanan. Keenam belas finalis kebanyakan dari sanggar ngetop..Salah satunya binaan Guruh Soekarnoputra,"jawab Mas Coki. Sambil ngobrol, beberapa pengamen jalanan mencium tangannya..Hmm
sepertinya Mas Coki begitu dihormati.

Dan, kelompok seni pengamen jalanan yang digagas oleh Mas Coki ini adalah jawara lomba seni musik. Detroid, mereka menamakan grupnya.
"Kami sudah 11 kali ikut lomba. Yang terakhir belum lama di DPR, festival musik 4 Pilar kami meraih juara 2. Hadiahnya rekaman dan uang 6 juta," terangnya.
Apa keunikannya sehingga menjadi juara ? "Kami memainkan alat musik tradisional juga, seperti rampak, seruling, dan sebagainya."

Mereka juga lumayan gaul. BNN kerap mengajak mereka dlm berbagai kegiatan kampanye anti narkoba. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, mereka pun melakukan aksi bersih-bersih terminal dengan sukarela.

Mas Coki membina dan membimbing sejumlah anak jalanan membuat alat musik seruling bambu.
Komunitasnya diberi nama Sudirman Communty. Nama Sudirman, itu lantaran mereka tinggal di 'basecamp' tanah kosong di Karet. Kini, mereka tinggal di Ciledug. Masih di "base camp' di lahan kosong yg sengaja dititipkan developer selama menunggu proses pembangunan. "Meski kami tinggal di lahan kosong, tetap kami jaga kebersihannya. Kami juga menanami dengan pohon." jelas Mas Coki yg telah menjadikan jalanan adalah dunianya. "Saya, pelaku seni jalanan,"

Semoga lombanya sukses ya Mas Coki. ..Aku bersalaman dan pamit dgn pria berbaju biru itu. Bis Blok M-Cawang telah menyambutku.






Setoreh Kisah Inspirasi dari Fotografer Tanpa Kaki



Dilahirkan dalam keadaan tidak normal, jujur sungguh terasa berat. Bukan hanya bagi diri yang menjalaninya, tetapi juga orang tua dan orang-orang terdekat yang berada di sekeliling. Cibiran, cemoohan, bahkan mengasihani pastinya menjadi makanan pokok sehari-hari. Ya itulah yang dialami Kevin Michael Cannoly. Pria kelahiran Helena tahun 1985 ini harus siap menelan kegetiran hidup tanpa kaki sejak lahir.

Selama perjalanan hidupnya, ia selalu melihat orang-orang yang terperangah melihatnya.  Melihat dengan bola mata penuh ketika berpapasan dengannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Cannoly malu, marah bahkan dendam. Justru sebaliknya, ia manfaatkan kesempatan orang-orang yang menatapnya dengan jepretan kamera. Ekspres-ekspresi orang menjadi nilai seni yang membuat dirinya terus merasa hidup.  Kini ia menjadi fotografer profesional yang karyanya mendunia.

Cannoly kecil hidup dalam lingkungan penuh kasih

Salut untuk kedua orang tua dan dua orang saudara perempuannya. Meski lahir tanpa kaki, mereka tak memperlakukan Connolly berbeda. Pada awalnya memang sulit. Ketika saatnya bayi seusianya belajar berjalan, Connolly justru menggunakan kedua tangannya untuk berpindah tempat.

“Orangtua saya seharusnya bisa berhemat karena mereka tak perlu membelikan saya sepasang sepatu. Tapi ternyata dalam seminggu saya bisa menghabiskan setengah lusin celana karena celana selalu bergesekan dengan tanah,” kata Connolly mengenang masa kecilnya.

Orangtuanya juga tak mengarahkannya untuk menggunakan kursi roda seumur hidup. Mereka tetap mengajarkan Connolly berjalan dengan anggota tubuh yang dimilikinya meskipun bukan kaki, yaitu kedua tangannya. Dan karena ia tak punya kaki, sebagai alas tubuh bagian bawahnya dibuatkanlah semacam “sepatu khusus”.




Sang ayah, lalu mengajarkannya berolahraga, mulai dari berenang hingga mendaki gunung. Ayahnya juga sering mengajaknya berkemah.  Itulah kenapa badannya fit. Naik gunung bagi yang tak punya kaki sudah pasti menyulitkan apalagi bagi Connolly yang praktis hanya mengandalkan kedua tangannya. Tetapi itu tak membuatnya mengeluh. “Saya adalah orang yang menggunakan tangan dua kali lebih sering ketimbang orang lain,” katanya.

Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mulai mengajarkannya bermain ski dengan pakaian yang dirancang khusus. Ia juga belajar skateboard.

Studi Fotografi

Hobi fotografi didapatnya ketika kuliah di Montana State University bidang film dan fotografi. Suatu kali ketika keluar negeri (tahun 2006), Connolly mengunjungi Eropa. Seperti pelancong pada umumnya, ia pun membawa kamera.



Ketika tiba di Wina, Austria, ia tertinggal oleh rombongan keluarganya yang jalan lebih dulu. Pada saat itu Connolly menemukan sesuatu yang menurutnya janggal. Saat sedang memotret, orang-orang melihatnya penuh keheranan. Ini tentu bukan pertama kalinya melihat reaksi orang terhadapnya seperti itu. Tapi pada saat itu ia merasa jengah. Karena merasa kesal, ia potret saja orang-orang itu.

Ketika pulang baru ia sadari hasil fotonya menarik. Timbul keinginannya untuk mengabadikan berbagai reaksi orang ketika pertama kali melihatnya.

Berpetualang ke 15 negara

Pada tahun yang sama, Connolly mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pemuda dengan Selandia Baru. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Namun beberapa bulan sebelum berangkat, ia ikut program televisi yang cukup populer “X-Games” yaitu lomba olahraga ekstrim. Ia ikut jenis olahraga ski.

Dengan keterampilan yang dimilikinya, ia berhasil meraih juara kedua dan mendapatkan medali perak serta sejumlah uang. Uang itu digunakannya untuk menambah biaya petualangannya. Setahun kemudian, Connolly berpetualang ke 15 negara dimulai dari Selandia Baru, kemudian ke sejumlah negara Eropa, lalu Malaysia dan Jepang. Selama perjalanan inilah ia mengabadikan foto orang-orang yang keheranan melihat dirinya yang tanpa kaki. Connolly berhasil membuat 32.000-an foto yang kelak dipamerkannya dan mendapat perhatian luar biasa. Ia juga menulis buku memoarnya dengan judul Double Take: A Memoir.

Foto itu bukti visual perjalanannya. Tetapi ia memiliki kenangan lainnya. Ketika di Selandia Baru, misalnya, ia mendengar seorang anak berteriak pada ibunya begitu melihatnya datang. Anak itu memanggil ibunya dan menyebut dirinya adalah korban gigitan hiu. Cerita berbeda ia dapatkan ketika mengunjungi negara lainnya.

Di Sarajevo, Bosnia, orang-orang mendekatinya karena bersimpati atas pengalaman buruk yang dialaminya. Orang itu mengira dirinya adalah korban perang Balkan tahun 1990-an. Waktu di Rumania lain lagi ceritanya. Ia malah mendapati banyak orang yang memberinya uang karena mengira dirinya pengemis. Tapi tak sedikit juga yang menganggapnya orang suci. Bahkan ketika pulang ke Amerika, ada saja orang yang menganggapnya tentara korban Perang Irak.

Tetapi ada kalanya orang menghampirinya hanya untuk menanyakan hal-hal kecil. Semisal, “Bagaimana kalau mau buang air?” Dan banyak pertanyaan lain yang memang normal diajukan tetapi sulit menjelaskannya.

Berbagai reaksi orang seperti itu sesuatu yang sulit dihindarinya. Tetapi itu justru memotivasinya untuk tetap tegar. “Ia adalah orang yang termotivasi oleh dirinya sendiri dan oleh orang lain,” kata seorang temannya mengenai Connolly.

Connolly sendiri berharap apa yang dilakukannya bisa memberikan inspirasi pada banyak orang. Tetapi sisi mana yang akan memberi inspirasi? Apakah ia ingin membuktikan bahwa orang seperti dirinya yang tak dikaruniai kaki juga bisa tak mau menyerah? “Saya kira satu-satunya cara untuk terus menjadi inspirasi adalah dengan terus melakukan apa yang bisa saya lakukan," paparnya.

Kini Connolly berprofesi sebagai seorang fotografer, pegiat film dan seni, juga olahragawan yang suka berpetualang ke tempat ekstrem. Semangatnya seperti orang normal. Bahkan melebihi rata-rata orang. Sungguh luar biasa!

Lantas bagaimana dengan kita yang dikaruniai kesempurnaan fisik ? Sudah sejauh mana memberikan manfaat untuk hidup yang dikaruniakan Tuhan.

Sumber : Andri Wongso  DLL


Tulisan ini juga diposting dalam media sosial www.doamu.com

Ketika Ibadah Haji Kehilangan Maknanya


Ini hanya sebuah renungan yang kerap membuat hati saya tergelitik.

Ketika orang yang sudah merasa mampu mengumpulkan sedikit demi sedikit rezekinya untuk berhaji, tapi harus tertegun lama menanti antrian pergi haji antara 10-15 tahun.

 Terlepas ini adalah ulah dari sistem manajemen haji yang kurang tepat di negeri ini, yang jelas ini menjadi evaluasi dan instrospeksi bagi yang pernah berhaji puluhan kali agar memberikan kesempatan kepada mereka yang belum. Alangkah bijaknya materi mereka yang berlebihan itu dialokasikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Uang Rp 20 juta sangat berharga untuk membantu permodalan usaha kecil, menolong orang di rumah sakit, membantu beasiswa pendidikan dan sebagainya...

Ini saya kutip dari tulisan Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta

Jamaah haji Indonesia yang pulang ke Tanah Air, bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah, hampir seluruhnya menjawab, ”Ingin. ” Hanya segelintir yang menjawab, “Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SAW.”
Jawaban itu menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji. Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi, dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.

Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SAW dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyrik.

Setelah Nabi SAW menguasai Mekkah (Fath Makkah) pada 12 Ramadan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji. Namun Nabi SAW tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian, Nabi SAW wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wida’ (haji perpisahan). Itu artinya, Nabi SAW berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali.

Nabi SAW juga berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali.Mengapa?

Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SAW lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadan, Nabi SAW juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke Mekkah.

Dalam Islam, ada dua kategori ibadah:
1.    Ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya.
2.    Ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain.
Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta’addiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta’addiyah.

Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta’addiyah, misalnya oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.

Di Madinah, banyak ”mahasiswa” belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta’addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan.

Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i, dan alik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.

Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).

Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.

Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?

Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan karena setan.

Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat.

Jam terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya.

Wa Allah a’lam.

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu disadarkan..Aamiin

Tulisan ini juga diposting pada media sosial www.doamu.com, media tempat berbagi yang inspiratif.