Membangun Sinergisitas MICE antara Mahasiswa dan Industrinya
MICE- Meeting,
Incentive, Conference & Exhibition-, istilah yang sampai saat ini mungkin
masih terdengar asing di telinga masyarakat. Tujuh tahun tahun lalu (2008)
ketika seorang teman mengajak saya kembali ke industri media, untuk bergabung
di media MICE, Majalah VENUE, jujur membuat saya pusing kepala. Khususnya saat
memilih angle penulisan sekaligus melihat scope posisi industri MICE diantara
sektor lainnya. Hhehe...sebuah dunia yang benar-benar baru saya pahami.
Orang pun ketika mendengar kata MICE, asosiasinya pasti ke hewan tikus. Padahal
jauh sekali kaitannya. Pendeknya, MICE dipahami sebagai industri event.
Direktorat MICE yang menempel pada Kementerian Pariwisata pun kabarnya baru
dibentuk tahun 2007. Nyaris bersamaan dengan lahirnya Majalah VENUE. Jadilah
majalah kami waktu itu sebagai corong informasi dan pengembangan MICE. Setiap
mewawancarai narasumber atau ketika berada di tengah-tengah industrinya,
wartawan Majalah VENUE pastinya harus extra waktu menjelaskan apa itu MICE dan
keitannya dengan bidang-bidang lain untuk mendapatkan "feel" yang
sama. Kalau sudah begitu, kami jadi saling belajar mengulirkan satu-satu benang
merah industri MICE.
Bahwasanya, sebagai sebuah industri, MICE memiliki
signifikansi sosial, budaya, dan ekonomi yang besar bagi sektor pariwisata dan
industri kreatif (Di Indonesia, MICE menjadi bagian dari sektor pariwisata).
Kegiatan MICE memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi kreatif
di daerah. Saking banyaknya irisan industri MICE atau industri event, MICE kerap
disebut industri multifaset yang potensial menggerakkan sektor
transportasi, perjalanan (tour & travel), rekreasi, akomodasi, makan dan
minum, venue, teknologi informasi perdagangan dan keuangan.
![]() |
Dr. Santi Palupu sedang menjelaskan tentang prospek dan peluang industri MICE |
MICE itu sebenarnya
tanpa disadari telah kita lakukan sekian lama. Tahun 1955, Indonesia bahkan
pernah mencatat sejarah besar sebagai penyelenggara perhelatan event MICE
tingkat dunia, Konferensi Asia Afrika. Namun, efek tersebut kurang dipahami
sehingga kita baru benar-benar melek MICE ketika Singapura dan Thailand
melambung perekonomiannya disebabkan MICE yang beriringan dengan sektor
pariwisata. Dua negara tersebut, menyusul Malaysia telah menjadikan
MICE andalan ekonomi nasional. Dan, Indonesia lagi-lagi menjadi incaran
negara tetangga yang berstrategi mengangkut sebanyak-banyaknya wisatawan
kita ke negara mereka. Roda MICE terus menggelinding cakep.
Bagaimana tidak,
menurut sumber dari literatur Kementerian Pariwisata, pasar MICE global
bernilai sekitar US$ 30 miliar per tahun. Weleh...Dan, segmen pasarnya
rata-rata usia produktif matang, yaitu 30 - 45 tahun, 65 persennya adalah
laki-laki. Market yang sangat potensial. Lantas bagaimana dengan kesiapan
Indonesia mendulang wisatawan MICE manca negara ? Apalagi kita sudah memasuki
era pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN), tentu kompetisi semakin
terbuka luas.
![]() |
Kelompok saya sedang presentasi proyek event |
Soal kesiapan Indonesia, dalam lima tahun belakangan ini cukup
intens untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga. Apalagi targetnya
juga tidak tanggung-tanggung dilontarkan Pak Menpar Arief Yahya yaitu 20
juta wisatawan dalam 5 tahun. Wilayah Indonesia yang luas dan berbentuk
kepulauan, butuh pemetaan yang akurat, daerah atau kota mana yang potensial
dikembangkan untuk MICE. Bidang Pengembangan Destinasi Wisata Konvensi,
Olahraga, Rekresi Kementerian Pariwisata (bidang yang melingkupi MICE) telah
menetapkan 16 destinasi MICE yaitu Medan, Palembang, Padang, Batam, Bintan,
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Bali, Lombok, Makassar,
Manado dan Balikpapan. Pemilihan ini berdasarkan kriteria : aksesbilitas,
infrastruktur, fasilitas MICE, akomodasi, dukungan pemerintah dan pemda,
pelayanan dan profesionalisme,citra destinasi pariwisata, dan daya tarik wisata
atau hiburan di setiap destinasi.
Dalam perkembangannya, diakui memang selain
Jakarta dan Bali, 14 destinasi MICE lainnya cenderung tidak seprogresif dua
provinsi tersebut. Banyak sebab, diantaranya kurang pahamnya pemda setempat
terhadap benefit dari industri MICE sehingga kurang memiliki visi kondusif
terhadap pengembangan MICE, kurangnya SDM yang mumpuni, pembangunan
infrastruktur yang kurang terarah, minimnya database MICE dan sebagainya.
Untuk
mendorong percepatan pengembangan MICE, Deputi Bidang Pengembangan Segmen Pasar
Bisnis dan Pemerintah, Kementerian Pariwisata tahun ini menggelar workshop di
berbagai destinasi MICE terpilih, diantaranya di Medan, Surabaya, Denpasar,
Batam dan Jakarta. Saya diundang oleh Majalah VENUE untuk mengikuti roadshow
yang bertema Asistensi Peningkatan Promosi MICE yang diselenggarakan di
Hotel Mercure Sabang (29 Oktober – 1 November 2015). Ini merupakan roadshow
terakhir penutup tahun. Diikuti sekitar 100 peserta yang 70 persennya terdiri dari mahasiswa jurusan MICE atau pariwisata dari
Universitas Podomoro Jakarta, Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid, Universitas
Bunda Mulia, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung dan sisanya diisi oleh kalangan
industri MICE dari hotel, travel, Asperapi, Professional Conference Organizer
(PCO), Professional Event Organizer (PEO), dan Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Workshop tersebut menghadirkan sejumlah pembicara yang tidak hanya dari
Kementerian Pariwisata, praktisi MICE, Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia
(Asperapi), sekaligus juga dosen-dosen dari univesitas terkait yang meng-coach
selama acara berlangsung. Salah satunya Ibu Edvi Gracia, dosen Program Studi
Bisnis Perhotelan dari Podomoro University, Dr. Santi Palupi juga dari Podomoro
Universiti. Hadir pula konsultan MICE, Wisnu Budi Sulaeman, CEO PT Pundi Tata
Prima Convex (Puntama Convex).
Dalam worskhop selama 3 hari full ini, peserta
tidak hanya dibekali dengan pengetahuan teoritis MICE, tantangan dan peluang
industri MICE, tetapi juga ditantang untuk membuat proyek acara MICE dalam
waktu kurang lebih 2 jam. Kami dikelompokan dengan berbagai profesi yang
berbeda. Sebagai profesional, saya sekelompok dengan orang mahasiswa, manajer
hotel, dan travel agent. Tema event adalah bagaimana membangun kearifan lokal.
Diskusi kami lumayan dinamis.
Meski sudah dibekali dengan sejumlah informasi tentang
MICE. Ternyata untuk membuat event yang kreatif cukup sulit. Kami harus lebih
melihat fenomena, tren, keunikan, momen, gaya hidup, grand design program
pemerintah dan sebagainya yang dapat menjadi inspirasi terciptanya event sesuai
tema. Dari berbagai masukan, kami memilih menyelenggarakan pameran kopi.
Pameran yang mengangkat komoditas kopi ini sebenarnya bukanlah hal yang unik.
Telah banyak pameran digelar menampilkan kopi. Hanya saja, dalam format kami,
ingin menumbuhkan awareness dan kebanggaan generasi muda Indonesia terhadap
komodtas kopi ini.
Kopi Indonesia masuk dalam jajaran penting kopi dengan
kualitas terbaik dan terenak di dunia, setelah Brazil, Kolumbia, Kostarika.
Biji kopi Indonesia dinilai khas. Kopi Sumatera dan Jawa termasuk favorit pecinta
kopi dunia. Dan, untuk kopi luwak, disebut-sebut sebagai kopi termahal di
dunia. Weiss... Hanya saja, ada pemandangan yang cukup ironis yang di tengah
masyarakat kita, yaitu makin masifnya lifestyle soft drink, khususnya di
kalangan generasi muda. Budaya minum kopi justru banyak menempati kafe-kafe
elit. Warung-warung kopi kurang begitu diminati generasi muda. Makanya, dalam
event yang kami ajukan ini, kami mengangkat tema ‘fun with coffee”. Semua orang
bisa fun menikmati kopi. International Indonesia Coffee Show, kami
menamakan event tersebut. Dan, direncanakan berkonsep modifikasi antara
Bussiness to Bussiness (B2B) dan Bussiness to Customer (B2C). Pembagiannya dua
hari untuk pameran dan konferensi untuk kalangan pebisnis, dan dua hari berikutnya
untuk umum dan keluarga Indonesia. Ide yang sudah tercetus harus dirunutkan
dengan jelas, detil berikut tujuan dan cara pencapaian keberhasilan yang
bisa terukur : nama event, tema, target, mekanisme (waktu dan tempat
pelaksanaan), floorplan, rundown, strategi marketing, biaya, sponsorship, bagan
organisasi pengelolanya, dan kontak penyelenggara. Semacam proposal proyek
event yang siap diajukan ke sejumlah sponsor.
Ditantang membuat event dalam
tempo singkat, rupanya memicu adrenalin tersendiri. Alhasil, ide-ide kreatif
bermunculan deras Ada yang membuat event backpacker dan flashpacker, beauty,
event ojek online, herbal dan sebagainya. Meski kelompok kami belum menjadi
yang terbaik, tetapi kami sudah merasa senang diapresiasi dan diberikan masukan
membangun tentang bagaimana membuat event dan merealisasikannya. Pada hari
ketiga, kami diajak tour ke JIEXPO Kemayoran dan Jakarta Convention Centre. Dua
venue terkemuka dengan standar internasional. Satu letaknya di pusat kota, satu
lagi agak dipinggir. Tetapi dengan kemudahan akses transportasi, keduanya
berhasil eksis memajukan industri event di Jakarta dengan keunggulan dan
keunikan masing-masing.
Bahkan meski sudah berdiri ICE di BSD Tangerang,
ajaibnya tidak mempengaruhi bisnis venue mereka. JIEXPO malah mengalami
kenaikan jumlah event sebesar 30 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya.
JIEXPO pun menambah sejumlah fasilitas venue untuk memenuhi kebutuhan ruangan
yang terus meningkat. Jalur transportasi umum, busway kini sudah merambahi
kawasan JIEXO.
Ya, kue MICE memang makin renyah. MICE tumbuh, mengikuti
industrinya. Namun, MICE bisa menjadi stimulan yang menggerakkan perekonomi
dikala melesu. Dunia event tak akan meredup kendati ekonomi sedang menurun.
Justru, di saat itulah, brand harus tetap eksis berpromosi. Asosiasi dan
lembaga harus terus melakukan branding dengan meningkatkan citra dan performa
melalui kegiatan brand activation untuk mendorong pertumbuhan. Begitu
roda MICE memutarkan sektor-sektor terkait.
Terbukti, pameran komputer Indocomtech
yang diselenggarakan di JCC, pada saat kami berkunjung, luar biasa
padat.Menurut salah seorang EO Indocomtech dari Amara Pameran Indonesia (API),
sejak hari pertama hingga kedua ini, pengunjung membludak, sampai
"macet" di gangway. Sempat khawatir pameran ini akan sepi pengunjung
karena ekonomi melesu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, brand-brand makin
termotivasi berpameran. Sampai akhir pameran, tercatat sebanyak 100 ribu
pengunjung dan perolehan transaksi sebesar Rp Rp600.765.445.800.
Dibanding
Indocomtech 2014, memang ada koreksi penurunan dari sisi jumlah pengunjung dan
transaksi. Tahun 2014, pengunjung mencapai angka 235.000 orang dengan
nilai transaksi sekitar Rp640 miliar. Meski begitu, pameran Indocomtech yang
diselenggarakan oleh Yayasan Apkomindo tergolong berhasil merebut perhatian
ratusan ribu pengunjung dan menjadi parameter cerahnya industri komputer
dan gajet tahun-tahun mendatang.
Prospek MICE cerah seiring dengan kemajuan
industrinya. MICE juga menjadi andalan bangkitnya perekonomian Indonesia,
sebagai alternatif dari sektor nonmigas. Optimisme ini harus terus dibangun,
bahwasanya dengan MICE, Indonesia bisa berjaya. Standarisasi usaha bisnis MICE
harus terus dilakukan, termasuk pula sertifkasi tenaga profesi MICE. Pekerjaan
rumah pengembangan industri MICE masih bertumpuk. Dan, worskhop asistensi
promosi pengembangan MICE ini hanya sebagian kecil upaya untuk
menyinergikan gerak langkah generasi baru MICE dengan industrinya. *)
Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Tulisan ini juga sudah dipublikasikan di akun Kompasiana
Saya suka event ini, meski saya belum pernah mengikutinya. ini salah satu cara bagus mengenalkan entreprenuer pada mahasiswa
BalasHapus