Macet Melahirkan Martabak Lumpia
Sebelumnya tak pernah kepikir oleh Pak Parno berjualan martabak telor lumpia di lingkungan rumahnya. Alasannya berjualan cukup simpel, ia sudah bosan dan lelah dengan kemacetan di jalan.
Maklum selama lebih dari 20 tahun, bapak beranak dua ini bersama taksinya mengarungi ruas-ruas jalan ibu kota. Dilanjut kurang lebih 5 tahun menjadi freelancer supir antar kota sebuah perusahaan ekspedisi terkemuka.
Kondisi jalan yang tdk baik, ditambah kesemrawutan lalulintas membuat jenuh dan letih ketika harus berhari-hari hidup di jalan. Bermodal gerobak kecil, dan ketrampilan mengolah martabak dari istrinya, ia mantab menjalani profesi barunya.
Harga martabak yg dijajakan juga pas di kantong anak-anak sekolah. Dipatok harga Rp 2000 utk dua butir telor puyuh dan selembar kulit lumpia. Sedangkan konsumsi ibu-ibu, cukup membayar Rp 4000 dengan sebutir telor ayam dan 3 kulit lumpia. Dalam tempo setengah hari ia bisa menghabiskan sekilo telor ayam dan beberapa pak telur puyuh. Faktor kebersihan warung dan gurihnya bumbu menjadi pemikat pembeli.
Anakku, Meili senang sekali dengan martabak telor puyuh ini. Melihat kakaknya berhasil jualan penganan anak, sang adik juga ikutan berjualan di lokasi berbeda. Mereka mangkal di sejumlah sekolah. Ada niat juga Pak Parno membiakkan gerobak martabak lumpia ini. "Yaaa, semoga saja bisa berkembang mbak.." ujar Pak Parno
Diakuinya, kendati penghasilan dari martabak tidak sebesar sewaktu menjadi supir, setidaknya ia bisa terbebas dari kemacetan yg memang makin parah di jalan.
Kemacetan ternyata menginspirasi seseorang mjd enterpreneur. Bagaimana dengan dirimu ? Masih ingin tua di jalan krn macet ?
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas masukan dan komentarnya.