Jual Daster Batik

Jual Daster Batik

Ketika Kujemput Jodohku di Milis Itu...

Jodoh..hmmm (sambil tarik nafas panjang), memang penuh misteri. Ada yang penuh lika-liku menemukannya hingga menguras emosi dan air mata, ada juga yang dengan mudah. Namun, apapun itu jalannya, bagi yang akhirnya sudah menemukan pujaan hati dan bersedia mengikat janji untuk selalu bersama dalam suka dan duka, terus beryukur ya. Karena, kesediaan bersama untuk waktu lama bahkan hingga azal menjemput, sekali lagi bukanlah perkara enteng. 

Tak ayal, karena takutnya mengemban janji itu, tidak sedikit yang memutuskan tidak menikah. Atau, cukup ‘senang-senang sesaat” sekedar menyalurkan nafsunya. Bahkan, konyolnya lagi, untuk kesenangan sesaat seakan di-halal-kan dengan adanya kawin kontrak yang kini mulai marak dilakukan oleh oknum ustad juga. Na’udzubillah. 

Pernikahan, jujur sempat membuatku khawatir. Khawatir apakah aku dan suamiku kelak mampu menjalaninya. Ketertarikanku pada dunia pernikahan, sudah dimulai sejak SMU. Waktu itu aku kerap membaca artikel “Oh Mama Oh Papa’ pada suatu majalah wanita terkenal di zaman itu. Artikel yang mengulas kisah nyata tentang kehidupan rumah tangga dan hubungan sepasang anak manusia yang mengharu biru. Ya, kehidupan rumah tangga dideskripsikan menjadi persoalan yang begitu pelik. Apalagi, sejak kecil aku kerap mendengar keributan dari rumah tangga  tetangga sebelah yang berujung pada perceraian. Belum lagi rumah tangga saudaraku yang tak kunjung damai. Syukurlah, rumah tangga orang tua meski tak mulus-mulus amat, masih bisa harmonis. 

Pengetahuan dini tentang pernikahan  menjadi motivasi kuat bagiku untuk tidak sembarang memilih sosok pendamping hidup. Sejak SMU,  ketika benih-benih suka pada lawan jenis tumbuh, aku sudah memasang kuda-kuda,  berdoa minta diberikan suami yang baik, soleh, dan bertanggung jawab. Hehe doa yang lumayan serius untuk anak SMU.

Karena aku suka berorganisasi dan senang dengan figur pemimpin yang bertanggung jawab,  kriteria suamiku bertambah dalam doaku ; suami yang suka berorganisasi, seorang pemimpin yang bijaksana, bertanggung jawab dan pintar.  Doa minta jodoh dan keturunan yang baik seperti yang termaktub dalam QS Al Afurqan : 74 : Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yun waj'alna lil muttaqiina imaama...tak pernah berhenti kupanjatkan pada setiap akhir salatku.

 Aku pun menancapkan niat dalam hati, hanya lelaki yang bakal jadi suamiku yang akan aku ajak ke rumah. Masa itu, aku aktif di organisasi keagamaan di sekolah yang memang melarang pacaran sebelum nikah. Alhamdulillah, konsep no pacaran, aku pegang teguh sampai jenjang pernikahan. 

 Sempat berkomitmen 

 Menjelang kelulusan sarjana, Allah menjawab doaku selama ini. Aku dipertemukan dengan seorang pria, kakak angkatanku di kampus. Jarak angkatan kami cukup jauh. Aku angkatan 97, dia 93. Jurusannya pun berbeda sehingga kami tak pernah berjumpa di kampus. Justru kami bertemu di kantornya saat aku baru merencanakan skripsi tentang pemberitaan konflik Sampit di medianya. Dia diminta pemrednya menjadi pembimbing skripsiku. 

Rupanya, pertemuan kami pertama kali, menimbulkan kesan baginya. Sementara, aku biasa saja. Hanya senang karena dia pintar dan banyak pengetahuan. Tak berapa lama, tiba-tiba dia  “menembakku” langsung untuk dijadikan istrinya via imel. Aku sempat tidak menanggapi. Karena, saat bertemu, dia begitu serius dan tidak menunjukkan ingin berhubungan yang lebih. Tetapi imel-imelnya terus meyakinkanku bahwa dia serius.

Di tengah keraguan, dan rada opurtunis juga supaya skripsiku lancar, akhirnya aku coba jalani dulu komitmen untuk berteman lebih dalam. Sebelumnya aku juga mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia dari beberapa rekanku yang pernah seorganisasi dengannya, juga dari beberapa dosen. Rupanya, dia cukup terkenal di kampus sehingga tidak ada alasan untuk menolak ajakan seriusnya untuk menikah.  Di sisi lain, aku bersyukur karena dia adalah sosok pria yang aku cari : soleh, aktif berorganisasi, pintar, rajin membaca, dan bereputasi baik karena tanggung jawabnya yang tinggi. Hanya saja dia sangat serius.   Allah benar-benar mengabulkan permohonanku selama ini, cetusku.

 Kurang lebih enam bulan kami jalani melalui hubungan jarak jauh : Jakarta-Bandung. Kami begitu akrab berkomunikasi via imel dan telepon. Namun, tak dimungkiri, ada perasaan berbeda di hatiku ketika bertemu. Ada rasa ketidaknyamanan saat bersamanya. Aku jadi seperti bertemu dengan dosen. Dan, seperti punya PR, untuk mengumpulkan banyak pengetahuan agar bisa nyambung berkomunikasi. 

Karena dia wartawan, tentu pengetahuannya sangat luas. Aku merasa tidak percaya diri. Padahal berbagai informasi dan pemberitaan politik dan humaniora sudah kulalap. Tetapi tetap merasa kurang saja saat bersamanya. Sehingga kalau bertemu, aku jadi kikuk, dan tidak bisa bebas berdiskusi. Tetapi, kalau komunikasi via imel, lancar-lancar saja. 

 Akhirnya, aku evaluasi kembali hubungan kami. Aku mencoba menanyakan komitmennya. Dia mantab menjawab, ingin menikah denganku. Namun, saat aku desak soal waktu menikah. Dia menjawab, sekitar 2-3 tahun lagi. Alasannya, penghasilannya masih belum cukup. Hmm..aku menarik nafas. Waktu 2-3 tahun bukanlah sebentar. Belum tentu tiga tahun kemudian, kami berjodoh. 

Akhirnya dengan berat hati, bulan Juli 2002, terpaksa aku putuskan hubungan itu. Dia sempat meralat agar akhir Desember 2002 kami menikah. Tetapi tetap, aku katakan, kita berteman biasa saja sampai Allah mempertemukan kami kembali. Waktu itu skripsiku juga belum selesai. Biarlah, aku jadi lebih mandiri mengerjakannya. November 2002, Alhamdulillah aku berhasil menjadi Sarjana Komunikasi. Soal cinta, aku memang lebih banyak pada logika.

 Mailing List Sahabat

 Aku tak pernah menyangka, mailing list sebuah perkumpulan islam di fakultas teknik universitas ternama di negeri ini menjadi sejarah dalam hidupku.  Berawal dari seorang sahabatku sewaktu SMU yang kuliah di sana, kerap mengirimkan imel seputar keislaman dari milis tersebut.   Aku sangat senang membaca  artikel  yang di-forward-kannya. Sehingga, aku memutuskan bergabung menjadi bagian anggota milis itu pada Oktober 2001. Agak malu juga bergabung karena bukan bagian dari mahasiswa Universitas Indonesia. Tapi kata sahabatku (kini sudah almarhumah), tidak masalah dari mahasiswa di luar UI. 

Setahun lebih aku bergabung dengan komunitas mailing list tersebut tanpa memberikan data dan memperkenalkan diri. Statusku pun sudah menjadi wartawan di sebuah majalah mingguan bisnis dan hukum.

Dunia media memang merupakan passion-ku.  Aku begitu sibuk menikmati petulangan menguber sumber berita. Aku hanya berfikir bagaimana bekerja yang baik agar beritaku layak muat, gajiku bisa untuk membiayai kuliah adik dan membantu kebutuhan sehari-hari orang tuaku. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Terasa betul tanggung jawab yang harus dipikul.

Dunia wartawan memang tidak mudah dijalani, terutama bagi wanita. Waktu itu, satu kantor, perempuan hanya dua orang. Selebihnya, laki-laki  matang usia. Tak pelak, kehadiran wanita kerap menjadi bulan-bulanan digoda para lelaki di kantorku. Sempat merasa risih juga ketika beberapa orang ada yang tertarik kepadaku. Bahkan, ada yang nekat memberanikan diri ingin selalu bersamaku kemanapun aku liputan. Wahh...sedangkan aku sama sekali tidak tertarik padanya. Keadaan ini sempat membuatku resah dan mengganggu pekerjaanku. Selintas aku ingin keluar dari kantor yang mematangkan jiwa kewartawananku. Tetapi, di sisi lain, pengalamanku masih seumur jagung. Belum PD juga untuk melamar di media lain. Biarlah, disabarin aja, itung-itung belajar, hiburku. 

Namun, kian hari, ketidaknyamanan lingkungan terasa begitu mengganggu konsentrasiku. Hingga akhirnya, tercetus solusi “menikah” untuk menghindari kejarannya. Tetapi menikah dengan siapa ? heheh aku juga belum punya pacar. Memang keasyikan bekerja, meluputkan perhatianku untuk segera menikah. Dalam bayanganku, kalau aku menikah, pasti tidak bisa lagi menjadi jurnalis. Suami mana yang rela istrinya bekerja larut malam. Liputan bersama dengan fotografer cowok, boncengan sepanjang hari. Waduhh...antara siap dan tidak siap juga meninggalkan petualangan ini.

Sampai pada suatu ketika, aku liputan di luar kota dan bertemu dengan seorang jurnalis wanita. Kami sekamar. Sepanjang malam, kami ngobrol tentang banyak hal, salah satunya tentang pernikahan.  Ocehannya malam itu rupanya kena di hati dan membuka pikiranku. Usianya sudah lebih dari 35 tahun, belum menikah. Sedangkan aku baru 23 tahun. Intinya, wartawati dari sebuah tabloid ekonomi di Jakarta itu memintaku untuk berfikir lagi tentang profesi jurnalis. Kata-kata terakhir yang masih kuingat darinya adalah,”Mumpung belum terlambat, sebaiknya kamu berfikir untuk menikah dari sekarang,” Ia merasa  sudah terlambat menikah. Ada rasa tidak butuh pendamping hidup, lantaran begitu asyik bergulat dengan kesibukan dan deadline. Hmmm.. ada benarnya juga. Mau sampai kapan aku menjalani hidup seperti ini.

 Pria di kantorku makin aktif mendekatiku. Sungguh membuatku jadi ilfil. Tak ada cara lain, kecuali memohon pada Allah agar dikuatkan. Aku termasuk wanita yang tidak bisa judes dengan pria. Namun begitu, aku berupaya bergaul dengan wajar, dan tak memberikan harapan apapun. Dalam kondisi yang tidak enak, aku bilang ke Allah, aku ingin menikah. Kalau dulu aku meminta sejumlah syarat untuk pendamping hidup, tetapi kali ini, aku hanya berdoa meminta yang terbaik saja menurut Allah. Karena Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Ustadz pun selalu mengatakan, kalau ingin mendapatkan suami yang baik, kita harus menjadi orang yang lebih baik. 

 Teguran Moderator Itu

Setelah lebih dari setahun menjadi anggota pasif  di milis sahabatku, akhirnya moderator melayangkan imel kepadaku. Pada waktu itu memang ada kebijakan pendataan kembali anggota milis.  

> > > --- afifudin wrote: 
> > > > Untuk pendataan, Ana harap antum mau mengisi 
> > > > formulir di bawah ini dan mereply-nya. 
> > > > 

 Email ini sempat aku acuhkan. Untuk kali kedua, moderator kembali mengingatkanku agar mengirimkan biodata. Merasa tidak enak juga, dan merasa bersalah, tidak permisi dulu bertamu, akhirnya  biodata kukirim ke milis tersebut. 
 ----- Original Message ----- 
> > From: "kartina sari" > > 
To: > > Sent: Saturday, March 29, 2003 3:44 PM 
> > Subject: Re: .: fusi-04 :. Biodata 
> > > Assalamu'alaikum, 
> > >  Maaf ya, kalau sejak saya ikut milis ini pada bulan Oktober  2001, saya belum mengisi data diri saya.Terus terang  saya senang bisa menjadi anggota milis ini karena saya mendapat banyak masukan tentang wawasan keislaman.
 > > > Nama : Kartina Ika Sari
 > > > Fakultas : Ilmu Komunikasi UNPAD, 
 > > >Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, angkatan 97 (lulus)  Pekerjaan : wartawan majalah TRUST (bisnis dan  hukum)
 > > > No. telp : kantor: 7228981, HP 0815 9390445
 > > > Alamat : Palmerah Barat Rt 003/010 No. 41 Jakarta Barat
 > > > Pesan/kesan : Kuatkan ukhuwah, timba wawasan dan ghiroh keislaman salah satunya melalui milis ini. 
 > > > Terima kasih. 

 Dua hari kemudian, aku mendapatkan imel balasan. Aku kira dari moderator, ternyata dari salah seorang anggota milis juga. 
 From: "Teguh Setiono"  
To: "kartina sari" Sent: Monday, March 31, 2003 11:27 AM
 Subject: Re: Fw: .: fusi-04 :. Biodata 
 > > boleh kenal lebih lanjut enggak ya........ 

 Jadilah percakapan ringan via imel. Rupanya pria dibalik nama Teguh Setiono itu bekerja di industri farmasi. Bukan suatu kebetulan, majalahku tengah mengangkat berita tentang industri farmasi. Lumayanlah buat nambah-nambah channel untuk  background liputanku, pikirku.

 Seminggu setelah perkenalan via imel, kami kopi darat dengan tujuan wawancara. Jujur, aku tidak ada feeling apa-apa. Tetapi memang, dari gaya tulisannya via imel, sepertinya ada maksud lain tersembunyi. Tetapi, tidak kuhiraukan. Statusnya sama seperti narasumberku lainnya.

 ####

 Sabtu hari itu, dia pulang setengah hari. Kami janjian di kantorku. Rupanya, kantornya tidak begitu jauh dengan kantorku. Hmm dari segi penampilan, apalagi wajah, aku benar-benar tidak tertarik. Makanya, aku tidak  canggung  saat kami berboncengan menuju sebuah mal di Blok M, Kebayoran Baru. Aku sudah menganggapnya seperti teman-teman cowokku lainnya. 
Aku sudah menyiapkan recorder dan catatan kecil. Barangkali ada informasi penting yang perlu dicatat. Tetapi ternyata pertemuan itu tidak membuahkan hasil bagi liputanku. Dia terlalu pendiam, dan hanya menjawab sekadarnya. Padahal aku sudah memancing dengan sejumlah pertanyaan yang butuh jawaban eksploratif. Hmm  aku jadi underestimate. Wah, salah orang nih. Tidak ada hasilnya hampir satu jam ngulik-ngulik pertanyaan tentang peta industri farmasi, minimal dari perusahaannya sendiri. Usut punya usut, dia juga bukan mahasiswa UI. Statusnya di milis itu sama denganku, anggota terselubung yang hanya ingin menambah pengetahuan tentang keislaman. 

Selama pertemuan, dia banyak memandangiku. Hufff...aku mulai tidak nyaman dengan situasi ini. Langsung saja aku to the point menanyakan maksud  sebenarnya bertemu. Dia menjawab tenang, mau kenal aku saja dan berharap bisa ke jenjang hubungan yang lebih. Waduhhh...aku nggak bisa berkomentar apapun. Hanya terdiam dan “mengaburkan” diri ke toilet untuk menenangkan diri. 

Di dalam toilet, aku berfikir keras bagaimana menolak ajakan pertemanan khusus darinya. Meski di sisi lain aku memang tengah meminta jodoh kepada Allah. Tetapi gimana ya, aku sama sekali nggak tertarik. Ya Allah maafkan hamba-Mu yang kurang bersyukur dan ikhlas menjalani ujianmu. Lantas, Aku teringat bagaimana aku memutuskan hubungan dengan pria ta’arufku dulu. Ketika ditanya menikah, dia langsung menawar. Siapa tahu begitu ditanya pernikahan, dia juga nawar waktu. Ini celah bagiku untuk  langsung meng- cut detik itu juga. 

 Begitu balik dari toilet, bagaikan punya kekuatan menang, tanpa embel-embel lagi, aku lancarkan peluruku. “Oke, terima kasih kalau mas mau mengenalku lebih dekat. Tetapi maaf mas, aku tidak mau berkomitmen. Kecuali sudah pasti akan menikah. Dan, itu pun tidak lama prosesnya. Maksimal enam bulan. Kalau dalam jangka waktu enam bulan tidak melamarku. Ya sudah kita berteman saja,” ujarku lugas.

 Mendengar pernyataanku, dia malah langsung menjawab, “ Baiklah, saya akan melamar kamu segera.” Waduhhh...aku kaget betul. Aku nggak mau kalah. Aku langsung berondong lagi dengan berbagai pertanyaan tentang visi rumah tangga dalam pandangannya. Aku juga menasbihkan diriku bukan istri solehah seperti dambaannya. Aku bilang, seandainya aku jadi istri kamu, kedudukanku adalah sebagai partner yang sejajar. Aku tidak mau diperlakukan seperti istri  yang melulu disibukkan dengan mencuci, menyetrika dan segudang pekerjaan rumah tangga. Aku katakan, aku paling malas mencuci, meyetrika dan sebagainya. Aku juga bilang,  tidak bisa memasak, ingin tetap bekerja sebagai wartawan, dan sebagainya yang jelek-jelek. 

Tetapi, dia tetap  menjawab enteng,” Aku mencari istri bukan pembantu. Kalau kamu nggak mau mencuci, menyetrika dan sebagainya, bisa cari pembantu. Tugas merawat anak merupakan tanggung jawab bersama," jawabnya. Dan, dia tidak melarangku untuk menjadi wartawan setelah menikah.  Jujur, mendengar pernyataannya tentang kehidupan rumah tangga, aku jadi klik. Visi dan misi kami ada kesamaan dalam memandang sebuah rumah tangga, rejeki, dan hikmah hidup.

Kurang lebih dua jam kami bertemu dan merasa ada peluang dariku, dia langsung ingin mengantarku ke rumah. Aku tidak mengijinkannya. Tetapi dia memaksa.  Akhirnya kami pulang bersama. Ibu dan adikku yang melihat aku dibonceng lelaki, mengiranya tukang ojek. Ibu dan adik baru nyadar ketika  dengan sopannya dia memberi salam. Aku langsung mengenalkan dia kepada orang tuaku. Aku kira dia hanya ingin bertatap muka dan ngobrol ringan dengan orang tuaku. Ternyata, tanpa kuduga, dia langsung menyatakan ingin menjadikan aku istrinya. Wahh sontak bapakku kaget. Nggak ada angin, nggak ada hujan, anak sulungnya dilamar seorang lelaki. Selama ini aku belum pernah cerita soal kekasih apalagi calon suami. Membawa pria masuk ke rumahku pun belum pernah.

Tanggal 20 April 2003, dia menepati tantanganku sebelum enam bulan sudah melamar. Dia memboyong orang tuanya dari Kebumen, ditemani tiga kakaknya yang juga membawa keluarganya untuk melamarku. Kami merencanakan menikah tanggal 20 Mei 2003. Tetapi atas kesepakatan keluarga dari kedua belah pihak, akhirnya pernikahan kami ditunda sampai tahun depan. Baik orang tuaku maupun orang tuanya, masih meragukan komitmen kami yang baru bertemu dalam hitungan hari langsung memutuskan menikah. Apalagi kenalnya sebatas dari internet. Keduanya tidak saling mengenal, tidak ada rekan dekat  yang setidaknya menjadi referensi salah satu diantara kami.  Argumen mereka, memilih suami, jangan seperti membeli kucing dalam karung. Hmm menyerahlah aku ketika cincin emas dilingkari di jariku oleh ibunya. 

Dia bukan yang Kuinginkan, melainkan yang Kubutuhkan

Kurang lebih 10 bulan kami jalani proses ta’aruf. Selama perjalanan itu, sejak bertemu  tidak ada yang berubah darinya. Kecuali,  tampak lebih rapi dengan potongan rambut lebih pendek. Dia tetap pendiam, irit bicara, kalau ditanya, jawabannya singkat. Sementara aku, banyak bicara. Jadi aku harus banyak mengorek tentang segala hal. Tapi herannya, tetap dijawab singkat dan paling cuma senyum atau anggukan kepala. Suaranya pun kecil. Aku mendapatkan gambaran jelas tentang dirinya melalui imel-imel dia dalam memperkenalkan diri. Dia bisa panjang lebar menjelaskan via tulisan. 


Selain itu, dia juga tidak suka membaca, seperti yang aku inginkan. Tak juga suka berorganisasi, sedangkan aku super aktif. Intinya, dia tipe cowok rumahan. Dia sangat tenang, cermat, tidak grasak grusuk, tidak panikan, berbeda sekali dengan aku. Wahh...karakter kami bagai langit dan bumi. Yang menyamakan kami hanya kesukaan pada makanan saja heheh sama-sama suka asinan dan tidak begitu senang dengan perempuan yang berdandan. Wah pas dong, aku paling males dengan dandan.  Gaya  sporty, nyaris tanpa make up

 Sepanjang waktu itu, aku terus berdoa, minta dipermudah jika memang dia yang terbaik. Kalau memang bukan jodoh, agar dijauhkan dan diselesaikan sesuai dengan cara Allah. Yang jelas, makin hari, aku merasa makin nyaman bersamanya, merasa menjadi diriku sendiri, tanpa ada kepura-puraan untuk menjadi seperti orang lain. Dia pun tampil apa adanya. Kami benar-benar eksis dengan keadaan diri masing-masing.Benih-benih suka yang ditumbuhkan dari sikap apa adanya mulai menghinggapi hatiku.

 Sampai pada tanggal pelaminan, Sabtu, 14 Februari 2004. Hari itu, pasangan yang ingin menikah banyak sekali.  Mungkin karena momen hari valentine. Aku juga baru ngeh kalau pilihan tanggal pernikahan kami bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. Kami hampir tidak mendapat waktu menikah hari itu. Sampai malam jadwal penuh. Kalau mau, paling di pagi hari, pukul 07:00, jadwal pertama penghulu itu.  Ya, akhirnya Alhamdulillah, menikahlah kami pada jam tersebut.

 14 Februari 2014, tepat 10 tahun pernikahan kami. Tak henti bibir ini mengucap syukur pada-Mu ya Allah. Kami masih teguh dalam perjanjian itu. Dia tetap tak berubah, sebelum dan sesudah menikah, memang seperti itulah orangnya. Kami pun tak saling menuntut untuk berubah. Seandainya kami ingin berubah ke arah yang lebih baik, itu karena kesadaran kami yang memang seharusnya berubah. Bukan karena desakan, apalagi paksaan. Sampai akhirnya aku memutuskan risain menjadi wartawan setelah 9 tahun bergelut di dunia media, karena kesadaran ingin lebih memperhatikan perkembangan dua buah hatiku. Dia tak pernah menyuruh untuk berhenti, semuanya diserahkan kepadaku.

 Tak dimungkiri  riak-riak kecil dalam biduk rumah tangga kami selalu ada. Bagaimana tidak, dua pribadi yang sangat berbeda disatukan dalam ikatan pernikahan.    Riak itu aku pandang sebagai tanda penyesuaian  dan menjadi hal yang wajar  sepanjang tidak menyangkut yang prinsip. Dia tak hanya menjadi seorang suami dan ayah bagi anak-anak kami, tetapi sekaligus juga sahabat dan partner kerja karena kami berkolaborasi dalam bisnis bersama. Di sisa hidup kami, impian kami pun sederhana, hanya ingin selamat dunia dan akhirat dengan rejeki yang barokah. Semoga ya Allah. 

Tulisan ini disertakan dalam Giveaway Novel Perjanjian yang Kuat





9 komentar:

  1. hwaaa. so sweet mbak penuh liku liku hihi... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhhehe..aku banyak pakai logika mba,,,perasaann hmm hampir nihil

      Hapus
  2. what I get is not always what I want

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahhh jadi malu nihhh dibaca kamu mas...wkkwkwkwk..betul mas fadly..

      Hapus
  3. Waaa kisahnya lengkap banget. Mampir ke blog ku juga ya mbak. Ikutan GA yang sama :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mak novi atas kunjungann,,kisah petualanganmu ga kalah keren..luar biasa ya keajaiban jodoh itu...

      Hapus
  4. kunjungan perdana n slm kenal :D
    semoga bahagia bersama jodohnya sista :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mba Indri atas doanya, bahagia juga untuk mba..Aamiin

      Hapus
  5. Komplit sekali Mba ceritanya. Makasih ya sudah ikut GA saya :-)

    BalasHapus

Terima kasih atas masukan dan komentarnya.