Ketika Kujemput Jodohku di Milis Itu...
Jodoh..hmmm (sambil tarik nafas panjang), memang penuh misteri. Ada yang penuh lika-liku menemukannya hingga menguras emosi dan air mata, ada juga yang dengan mudah. Namun, apapun itu jalannya, bagi yang akhirnya sudah menemukan pujaan hati dan bersedia mengikat janji untuk selalu bersama dalam suka dan duka, terus beryukur ya. Karena, kesediaan bersama untuk waktu lama bahkan hingga azal menjemput, sekali lagi bukanlah perkara enteng.
Tak ayal, karena takutnya mengemban janji itu, tidak sedikit yang memutuskan tidak menikah. Atau, cukup ‘senang-senang sesaat” sekedar menyalurkan nafsunya. Bahkan, konyolnya lagi, untuk kesenangan sesaat seakan di-halal-kan dengan adanya kawin kontrak yang kini mulai marak dilakukan oleh oknum ustad juga. Na’udzubillah.
Pernikahan, jujur sempat membuatku khawatir. Khawatir apakah aku dan suamiku kelak mampu menjalaninya. Ketertarikanku pada dunia pernikahan, sudah dimulai sejak SMU. Waktu itu aku kerap membaca artikel “Oh Mama Oh Papa’ pada suatu majalah wanita terkenal di zaman itu. Artikel yang mengulas kisah nyata tentang kehidupan rumah tangga dan hubungan sepasang anak manusia yang mengharu biru. Ya, kehidupan rumah tangga dideskripsikan menjadi persoalan yang begitu pelik. Apalagi, sejak kecil aku kerap mendengar keributan dari rumah tangga tetangga sebelah yang berujung pada perceraian. Belum lagi rumah tangga saudaraku yang tak kunjung damai. Syukurlah, rumah tangga orang tua meski tak mulus-mulus amat, masih bisa harmonis.
Pengetahuan dini tentang pernikahan menjadi motivasi kuat bagiku untuk tidak sembarang memilih sosok pendamping hidup. Sejak SMU, ketika benih-benih suka pada lawan jenis tumbuh, aku sudah memasang kuda-kuda, berdoa minta diberikan suami yang baik, soleh, dan bertanggung jawab. Hehe doa yang lumayan serius untuk anak SMU.
Karena aku suka berorganisasi dan senang dengan figur pemimpin yang bertanggung jawab, kriteria suamiku bertambah dalam doaku ; suami yang suka berorganisasi, seorang pemimpin yang bijaksana, bertanggung jawab dan pintar. Doa minta jodoh dan keturunan yang baik seperti yang termaktub dalam QS Al Afurqan : 74 : Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yun waj'alna lil muttaqiina imaama...tak pernah berhenti kupanjatkan pada setiap akhir salatku.
Aku pun menancapkan niat dalam hati, hanya lelaki yang bakal jadi suamiku yang akan aku ajak ke rumah. Masa itu, aku aktif di organisasi keagamaan di sekolah yang memang melarang pacaran sebelum nikah. Alhamdulillah, konsep no pacaran, aku pegang teguh sampai jenjang pernikahan.
Sempat berkomitmen
Menjelang kelulusan sarjana, Allah menjawab doaku selama ini. Aku dipertemukan dengan seorang pria, kakak angkatanku di kampus. Jarak angkatan kami cukup jauh. Aku angkatan 97, dia 93. Jurusannya pun berbeda sehingga kami tak pernah berjumpa di kampus. Justru kami bertemu di kantornya saat aku baru merencanakan skripsi tentang pemberitaan konflik Sampit di medianya. Dia diminta pemrednya menjadi pembimbing skripsiku.
Rupanya, pertemuan kami pertama kali, menimbulkan kesan baginya. Sementara, aku biasa saja. Hanya senang karena dia pintar dan banyak pengetahuan. Tak berapa lama, tiba-tiba dia “menembakku” langsung untuk dijadikan istrinya via imel. Aku sempat tidak menanggapi. Karena, saat bertemu, dia begitu serius dan tidak menunjukkan ingin berhubungan yang lebih. Tetapi imel-imelnya terus meyakinkanku bahwa dia serius.
Di tengah keraguan, dan rada opurtunis juga supaya skripsiku lancar, akhirnya aku coba jalani dulu komitmen untuk berteman lebih dalam. Sebelumnya aku juga mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia dari beberapa rekanku yang pernah seorganisasi dengannya, juga dari beberapa dosen. Rupanya, dia cukup terkenal di kampus sehingga tidak ada alasan untuk menolak ajakan seriusnya untuk menikah.
Di sisi lain, aku bersyukur karena dia adalah sosok pria yang aku cari : soleh, aktif berorganisasi, pintar, rajin membaca, dan bereputasi baik karena tanggung jawabnya yang tinggi. Hanya saja dia sangat serius. Allah benar-benar mengabulkan permohonanku selama ini, cetusku.
Kurang lebih enam bulan kami jalani melalui hubungan jarak jauh : Jakarta-Bandung. Kami begitu akrab berkomunikasi via imel dan telepon. Namun, tak dimungkiri, ada perasaan berbeda di hatiku ketika bertemu. Ada rasa ketidaknyamanan saat bersamanya. Aku jadi seperti bertemu dengan dosen. Dan, seperti punya PR, untuk mengumpulkan banyak pengetahuan agar bisa nyambung berkomunikasi.
Karena dia wartawan, tentu pengetahuannya sangat luas. Aku merasa tidak percaya diri. Padahal berbagai informasi dan pemberitaan politik dan humaniora sudah kulalap. Tetapi tetap merasa kurang saja saat bersamanya. Sehingga kalau bertemu, aku jadi kikuk, dan tidak bisa bebas berdiskusi. Tetapi, kalau komunikasi via imel, lancar-lancar saja.
Akhirnya, aku evaluasi kembali hubungan kami. Aku mencoba menanyakan komitmennya. Dia mantab menjawab, ingin menikah denganku. Namun, saat aku desak soal waktu menikah. Dia menjawab, sekitar 2-3 tahun lagi. Alasannya, penghasilannya masih belum cukup. Hmm..aku menarik nafas. Waktu 2-3 tahun bukanlah sebentar. Belum tentu tiga tahun kemudian, kami berjodoh.
Akhirnya dengan berat hati, bulan Juli 2002, terpaksa aku putuskan hubungan itu. Dia sempat meralat agar akhir Desember 2002 kami menikah. Tetapi tetap, aku katakan, kita berteman biasa saja sampai Allah mempertemukan kami kembali. Waktu itu skripsiku juga belum selesai. Biarlah, aku jadi lebih mandiri mengerjakannya. November 2002, Alhamdulillah aku berhasil menjadi Sarjana Komunikasi. Soal cinta, aku memang lebih banyak pada logika.
Mailing List Sahabat
Aku tak pernah menyangka, mailing list sebuah perkumpulan islam di fakultas teknik universitas ternama di negeri ini menjadi sejarah dalam hidupku. Berawal dari seorang sahabatku sewaktu SMU yang kuliah di sana, kerap mengirimkan imel seputar keislaman dari milis tersebut.
Aku sangat senang membaca artikel yang di-forward-kannya. Sehingga, aku memutuskan bergabung menjadi bagian anggota milis itu pada Oktober 2001. Agak malu juga bergabung karena bukan bagian dari mahasiswa Universitas Indonesia. Tapi kata sahabatku (kini sudah almarhumah), tidak masalah dari mahasiswa di luar UI.
Setahun lebih aku bergabung dengan komunitas mailing list tersebut tanpa memberikan data dan memperkenalkan diri. Statusku pun sudah menjadi wartawan di sebuah majalah mingguan bisnis dan hukum.
Dunia media memang merupakan passion-ku. Aku begitu sibuk menikmati petulangan menguber sumber berita. Aku hanya berfikir bagaimana bekerja yang baik agar beritaku layak muat, gajiku bisa untuk membiayai kuliah adik dan membantu kebutuhan sehari-hari orang tuaku. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Terasa betul tanggung jawab yang harus dipikul.
Dunia media memang merupakan passion-ku. Aku begitu sibuk menikmati petulangan menguber sumber berita. Aku hanya berfikir bagaimana bekerja yang baik agar beritaku layak muat, gajiku bisa untuk membiayai kuliah adik dan membantu kebutuhan sehari-hari orang tuaku. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Terasa betul tanggung jawab yang harus dipikul.
Dunia wartawan memang tidak mudah dijalani, terutama bagi wanita. Waktu itu, satu kantor, perempuan hanya dua orang. Selebihnya, laki-laki matang usia. Tak pelak, kehadiran wanita kerap menjadi bulan-bulanan digoda para lelaki di kantorku. Sempat merasa risih juga ketika beberapa orang ada yang tertarik kepadaku. Bahkan, ada yang nekat memberanikan diri ingin selalu bersamaku kemanapun aku liputan. Wahh...sedangkan aku sama sekali tidak tertarik padanya. Keadaan ini sempat membuatku resah dan mengganggu pekerjaanku.
Selintas aku ingin keluar dari kantor yang mematangkan jiwa kewartawananku. Tetapi, di sisi lain, pengalamanku masih seumur jagung. Belum PD juga untuk melamar di media lain. Biarlah, disabarin aja, itung-itung belajar, hiburku.
Namun, kian hari, ketidaknyamanan lingkungan terasa begitu mengganggu konsentrasiku. Hingga akhirnya, tercetus solusi “menikah” untuk menghindari kejarannya. Tetapi menikah dengan siapa ? heheh aku juga belum punya pacar.
Memang keasyikan bekerja, meluputkan perhatianku untuk segera menikah. Dalam bayanganku, kalau aku menikah, pasti tidak bisa lagi menjadi jurnalis. Suami mana yang rela istrinya bekerja larut malam. Liputan bersama dengan fotografer cowok, boncengan sepanjang hari. Waduhh...antara siap dan tidak siap juga meninggalkan petualangan ini.
Sampai pada suatu ketika, aku liputan di luar kota dan bertemu dengan seorang jurnalis wanita. Kami sekamar. Sepanjang malam, kami ngobrol tentang banyak hal, salah satunya tentang pernikahan. Ocehannya malam itu rupanya kena di hati dan membuka pikiranku. Usianya sudah lebih dari 35 tahun, belum menikah. Sedangkan aku baru 23 tahun. Intinya, wartawati dari sebuah tabloid ekonomi di Jakarta itu memintaku untuk berfikir lagi tentang profesi jurnalis. Kata-kata terakhir yang masih kuingat darinya adalah,”Mumpung belum terlambat, sebaiknya kamu berfikir untuk menikah dari sekarang,” Ia merasa sudah terlambat menikah. Ada rasa tidak butuh pendamping hidup, lantaran begitu asyik bergulat dengan kesibukan dan deadline.
Hmmm.. ada benarnya juga. Mau sampai kapan aku menjalani hidup seperti ini.
Pria di kantorku makin aktif mendekatiku. Sungguh membuatku jadi ilfil.
Tak ada cara lain, kecuali memohon pada Allah agar dikuatkan. Aku termasuk wanita yang tidak bisa judes dengan pria. Namun begitu, aku berupaya bergaul dengan wajar, dan tak memberikan harapan apapun. Dalam kondisi yang tidak enak, aku bilang ke Allah, aku ingin menikah. Kalau dulu aku meminta sejumlah syarat untuk pendamping hidup, tetapi kali ini, aku hanya berdoa meminta yang terbaik saja menurut Allah. Karena Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Ustadz pun selalu mengatakan, kalau ingin mendapatkan suami yang baik, kita harus menjadi orang yang lebih baik.
Teguran Moderator Itu
Setelah lebih dari setahun menjadi anggota pasif di milis sahabatku, akhirnya moderator melayangkan imel kepadaku. Pada waktu itu memang ada kebijakan pendataan kembali anggota milis.
> > > --- afifudin wrote:
hwaaa. so sweet mbak penuh liku liku hihi... :)
BalasHapushhhehe..aku banyak pakai logika mba,,,perasaann hmm hampir nihil
Hapuswhat I get is not always what I want
BalasHapuswahhh jadi malu nihhh dibaca kamu mas...wkkwkwkwk..betul mas fadly..
HapusWaaa kisahnya lengkap banget. Mampir ke blog ku juga ya mbak. Ikutan GA yang sama :)
BalasHapusterima kasih mak novi atas kunjungann,,kisah petualanganmu ga kalah keren..luar biasa ya keajaiban jodoh itu...
Hapuskunjungan perdana n slm kenal :D
BalasHapussemoga bahagia bersama jodohnya sista :)
Terima kasih Mba Indri atas doanya, bahagia juga untuk mba..Aamiin
HapusKomplit sekali Mba ceritanya. Makasih ya sudah ikut GA saya :-)
BalasHapus