Setoreh Kisah Inspirasi dari Fotografer Tanpa Kaki
Dilahirkan dalam keadaan tidak normal, jujur sungguh terasa berat. Bukan hanya bagi diri yang menjalaninya, tetapi juga orang tua dan orang-orang terdekat yang berada di sekeliling. Cibiran, cemoohan, bahkan mengasihani pastinya menjadi makanan pokok sehari-hari. Ya itulah yang dialami Kevin Michael Cannoly. Pria kelahiran Helena tahun 1985 ini harus siap menelan kegetiran hidup tanpa kaki sejak lahir.
Selama perjalanan hidupnya, ia selalu melihat orang-orang yang terperangah melihatnya. Melihat dengan bola mata penuh ketika berpapasan dengannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Cannoly malu, marah bahkan dendam. Justru sebaliknya, ia manfaatkan kesempatan orang-orang yang menatapnya dengan jepretan kamera. Ekspres-ekspresi orang menjadi nilai seni yang membuat dirinya terus merasa hidup. Kini ia menjadi fotografer profesional yang karyanya mendunia.
Cannoly kecil hidup dalam lingkungan penuh kasih
Salut untuk kedua orang tua dan dua orang saudara perempuannya. Meski lahir tanpa kaki, mereka tak memperlakukan Connolly berbeda. Pada awalnya memang sulit. Ketika saatnya bayi seusianya belajar berjalan, Connolly justru menggunakan kedua tangannya untuk berpindah tempat.
“Orangtua saya seharusnya bisa berhemat karena mereka tak perlu membelikan saya sepasang sepatu. Tapi ternyata dalam seminggu saya bisa menghabiskan setengah lusin celana karena celana selalu bergesekan dengan tanah,” kata Connolly mengenang masa kecilnya.
Orangtuanya juga tak mengarahkannya untuk menggunakan kursi roda seumur hidup. Mereka tetap mengajarkan Connolly berjalan dengan anggota tubuh yang dimilikinya meskipun bukan kaki, yaitu kedua tangannya. Dan karena ia tak punya kaki, sebagai alas tubuh bagian bawahnya dibuatkanlah semacam “sepatu khusus”.
Sang ayah, lalu mengajarkannya berolahraga, mulai dari berenang hingga mendaki gunung. Ayahnya juga sering mengajaknya berkemah. Itulah kenapa badannya fit. Naik gunung bagi yang tak punya kaki sudah pasti menyulitkan apalagi bagi Connolly yang praktis hanya mengandalkan kedua tangannya. Tetapi itu tak membuatnya mengeluh. “Saya adalah orang yang menggunakan tangan dua kali lebih sering ketimbang orang lain,” katanya.
Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mulai mengajarkannya bermain ski dengan pakaian yang dirancang khusus. Ia juga belajar skateboard.
Studi Fotografi
Hobi fotografi didapatnya ketika kuliah di Montana State University bidang film dan fotografi. Suatu kali ketika keluar negeri (tahun 2006), Connolly mengunjungi Eropa. Seperti pelancong pada umumnya, ia pun membawa kamera.
Ketika tiba di Wina, Austria, ia tertinggal oleh rombongan keluarganya yang jalan lebih dulu. Pada saat itu Connolly menemukan sesuatu yang menurutnya janggal. Saat sedang memotret, orang-orang melihatnya penuh keheranan. Ini tentu bukan pertama kalinya melihat reaksi orang terhadapnya seperti itu. Tapi pada saat itu ia merasa jengah. Karena merasa kesal, ia potret saja orang-orang itu.
Ketika pulang baru ia sadari hasil fotonya menarik. Timbul keinginannya untuk mengabadikan berbagai reaksi orang ketika pertama kali melihatnya.
Berpetualang ke 15 negara
Pada tahun yang sama, Connolly mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pemuda dengan Selandia Baru. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Namun beberapa bulan sebelum berangkat, ia ikut program televisi yang cukup populer “X-Games” yaitu lomba olahraga ekstrim. Ia ikut jenis olahraga ski.
Dengan keterampilan yang dimilikinya, ia berhasil meraih juara kedua dan mendapatkan medali perak serta sejumlah uang. Uang itu digunakannya untuk menambah biaya petualangannya. Setahun kemudian, Connolly berpetualang ke 15 negara dimulai dari Selandia Baru, kemudian ke sejumlah negara Eropa, lalu Malaysia dan Jepang. Selama perjalanan inilah ia mengabadikan foto orang-orang yang keheranan melihat dirinya yang tanpa kaki. Connolly berhasil membuat 32.000-an foto yang kelak dipamerkannya dan mendapat perhatian luar biasa. Ia juga menulis buku memoarnya dengan judul Double Take: A Memoir.
Foto itu bukti visual perjalanannya. Tetapi ia memiliki kenangan lainnya. Ketika di Selandia Baru, misalnya, ia mendengar seorang anak berteriak pada ibunya begitu melihatnya datang. Anak itu memanggil ibunya dan menyebut dirinya adalah korban gigitan hiu. Cerita berbeda ia dapatkan ketika mengunjungi negara lainnya.
Di Sarajevo, Bosnia, orang-orang mendekatinya karena bersimpati atas pengalaman buruk yang dialaminya. Orang itu mengira dirinya adalah korban perang Balkan tahun 1990-an. Waktu di Rumania lain lagi ceritanya. Ia malah mendapati banyak orang yang memberinya uang karena mengira dirinya pengemis. Tapi tak sedikit juga yang menganggapnya orang suci. Bahkan ketika pulang ke Amerika, ada saja orang yang menganggapnya tentara korban Perang Irak.
Tetapi ada kalanya orang menghampirinya hanya untuk menanyakan hal-hal kecil. Semisal, “Bagaimana kalau mau buang air?” Dan banyak pertanyaan lain yang memang normal diajukan tetapi sulit menjelaskannya.
Berbagai reaksi orang seperti itu sesuatu yang sulit dihindarinya. Tetapi itu justru memotivasinya untuk tetap tegar. “Ia adalah orang yang termotivasi oleh dirinya sendiri dan oleh orang lain,” kata seorang temannya mengenai Connolly.
Connolly sendiri berharap apa yang dilakukannya bisa memberikan inspirasi pada banyak orang. Tetapi sisi mana yang akan memberi inspirasi? Apakah ia ingin membuktikan bahwa orang seperti dirinya yang tak dikaruniai kaki juga bisa tak mau menyerah? “Saya kira satu-satunya cara untuk terus menjadi inspirasi adalah dengan terus melakukan apa yang bisa saya lakukan," paparnya.
Kini Connolly berprofesi sebagai seorang fotografer, pegiat film dan seni, juga olahragawan yang suka berpetualang ke tempat ekstrem. Semangatnya seperti orang normal. Bahkan melebihi rata-rata orang. Sungguh luar biasa!
Lantas bagaimana dengan kita yang dikaruniai kesempurnaan fisik ? Sudah sejauh mana memberikan manfaat untuk hidup yang dikaruniakan Tuhan.
Sumber : Andri Wongso DLL
Tulisan ini juga diposting dalam media sosial www.doamu.com
Huhuuu, mataku berkaca-kaca baca kisah ini. Salut bener deh sama Connolly. Hebat banget mentalnya.
BalasHapus