Cermat Menggunakan Obat, Jauhkan dari Penyakit
Kecanggihan teknologi kedokteran yang sejatinya harus kita apresiasi sepertinya tidak begitu berlaku untuk dunia obat-obatan. Loh kok ? Ya...membicarakan obat, kadang ada dua sisi yang mata uang yang sulit terpisahkan. Ia sesungguhnya bisa menjadi madu yang notabene menyembuhkan penyakit, tetapi sekaligus bisa menjadi racun.
Kalimat ini lantang dikatakan oleh dr. Purnamawati Sp.Ak (Pendiri Yayasan Orang Tua Peduli/YOP) dalam talkshow "Cermat Menggunakan Obat" dalam rangkaian kampanye "Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat - Gema Cermat" yang diselenggarakan oleh Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, di JIEXPO Kemayoran (13 - 15 November 2015).
Talkshow yang digelar disela-sela acara Pameran Pembangunan Kesehatan tersebut turut menghadirkan pula Dra. Azizah Wati, Apt. Ketua Umum Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) DKI Jakarta. Praktisi farmasi ini mengulas detil beragam jenis obat yang seharusnya diketahui masyarakat Indonesia. Tujuannya, tentu agar masyarakat dapat cerdas menggunakan obat, mengetahui benar fungsinya, efek samping, cara pakai sampai timing yang tepat dalam mengonsumsi obat.
Kebanyakan masyarakat, kurang kritis terhadap obat yang diberikan dokter. Ingat dokter adalah manusia yang perlu kita kritisi dan tanya lebih detil.
"Memang, ketika kita berobat, dokter sudah memberi tahu kapan dan berapa kali obat diminum. Tetapi pernahkah kita mempertanyakan lagi, berapa lama jarak antar waktu minum obat, efek sampingnya, penyimpanannya, dan peruntukannya yang tepat ?" tanya Dra Azizahwati kepada peserta talkshow yang dihadiri oleh berbagai komunitas ini
Dra Azizahwati Apt, mengakui, tidak sedikit, masyarakat yang suka menggampangkan memberikan obat. "Misal karena indikasi penyakitnya sama, maka obat milik kakak, diberikan ke adik. Padahal, meski obatnya sama, tidak bisa sembarangan. Perbedaan usia, berat badan, rekam medis atau riwayat penyakit turut menentukan kadar atau dosis obatnya," papar Dra. Azizahwati.
"Pada resep sudah tertulis, minum obat 3 x sehari. Yang umum dipahami, adalah diminum pada waktu pagi, siang, dan malam. Nah, paginya jam berapa ?" tanya Dra. Azizah Wati.
Kontan, saya jadi terpana mendengarnya. Biasanya saya meminumkan obat untuk Barra, anak saya yang sedang demam kalau pagi sekitar jam 8-an. Malah suka nyaris jam 9, menunggu dia bangun. Waktunya tidak teratur, kadang jam 8, kadang pula jam 9-an. Hmm...ternyata rentang waktu minum obat, menurut Dra. Azizah sangat penting. Harus diperhatikan rentang waktunya, misal antara 7-8 jam sebelum obat berikutnya. Untuk malam, waktunya bisa lebih lama.
Nah, kalau ada petunjuk obat diminum sebelum makan. Kira-kira berapa rentang waktunya sampai pada waktu makan atau menuju obat berikutnya yang akan diminum setelah makan ? Pertanyaan ini jadi menggelitik saya. Berasa 'blank" betul karena selama ini tidak pernah memperhitungkan hal tersebut.
3 fase minum obat yang perlu kita tahu :
Tak hanya rentang waktu, bahan-bahan yang terkandung di dalamnya pun harus diperhatikan. Dra. Azizahwati menghimbau kepada masyarakat agar mengenali maksud dari warna logo pada kemasan obat sehingga bisa diantisipasi efek samping dan risiko kimia yang bisa ditimbulkan.
Banyaknya obat dengan berbagai brand dan solusinya memang mendorong masyarakat sekarang punya inisiatif tinggi untuk berobat sendiri (swamedikasi atau mengoabati sendiri), tanpa resep dokter. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), juga mensinyalir hal tersebut bahwasanya 60 persen masyarakat melakukan pengobatan sendiri. Agar swamedikasi memberikan manfaat yang sesuai harapan yaitu sehat, Dra. Azizahwati giat mensosialiasikan pengenalan obat secara lebih dalam. Diantaranya dengan pemahaman warna logo obat.
Setiap kemasan obat ditandai dengan warna logo, yaitu :
1. Merah, di dalam lingkaran ada huruf K hitam, indikasi untuk obat keras. Obat ini hanya boleh diberikan dari resep dokter. Yang masuk dalam kategori ini diantaranya antibiotik psikotropika, amoksilin, kaptopril, piroksikam, deksametason.
2. Biru, merupakan simbol obat bebas terbatas. Sebenarnya ini obat keras, tetapi longgar, artinya bisa dibeli tanpa resep dokter. Hanya saja, perlu diperhatikan informasi penggunaannya yang terdapat pada kemasan, indikasi dan kontra indikasi, nomor batch, termasuk juga alamat lengkap produsen obat tersebut. Contoh obat ini yaitu dimenhidrinat (obat anti alergi), asam acetylsalisil, Asmadex, ephedrin HCL, Dextromethorphan dan sebagainya.
3. Hijau, obat bebas. Artinya masyarakat dapat membelinya tanpa resep dokter. Yang tergolong obat ini diantaranya paracetamol, vitamin, aspirin, dan sebagainya.
4. Logo menyerupai palang berwarna merah, merupakan obat narkotika.Obat ini dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran serta menimbulkan ketergantungan. Diantara obat narkotika adalah morfin, kodein, petidin dan sebagainya.
Kalimat ini lantang dikatakan oleh dr. Purnamawati Sp.Ak (Pendiri Yayasan Orang Tua Peduli/YOP) dalam talkshow "Cermat Menggunakan Obat" dalam rangkaian kampanye "Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat - Gema Cermat" yang diselenggarakan oleh Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, di JIEXPO Kemayoran (13 - 15 November 2015).
Talkshow yang digelar disela-sela acara Pameran Pembangunan Kesehatan tersebut turut menghadirkan pula Dra. Azizah Wati, Apt. Ketua Umum Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) DKI Jakarta. Praktisi farmasi ini mengulas detil beragam jenis obat yang seharusnya diketahui masyarakat Indonesia. Tujuannya, tentu agar masyarakat dapat cerdas menggunakan obat, mengetahui benar fungsinya, efek samping, cara pakai sampai timing yang tepat dalam mengonsumsi obat.
Kebanyakan masyarakat, kurang kritis terhadap obat yang diberikan dokter. Ingat dokter adalah manusia yang perlu kita kritisi dan tanya lebih detil.
"Memang, ketika kita berobat, dokter sudah memberi tahu kapan dan berapa kali obat diminum. Tetapi pernahkah kita mempertanyakan lagi, berapa lama jarak antar waktu minum obat, efek sampingnya, penyimpanannya, dan peruntukannya yang tepat ?" tanya Dra Azizahwati kepada peserta talkshow yang dihadiri oleh berbagai komunitas ini
Dra Azizahwati Apt, mengakui, tidak sedikit, masyarakat yang suka menggampangkan memberikan obat. "Misal karena indikasi penyakitnya sama, maka obat milik kakak, diberikan ke adik. Padahal, meski obatnya sama, tidak bisa sembarangan. Perbedaan usia, berat badan, rekam medis atau riwayat penyakit turut menentukan kadar atau dosis obatnya," papar Dra. Azizahwati.
"Pada resep sudah tertulis, minum obat 3 x sehari. Yang umum dipahami, adalah diminum pada waktu pagi, siang, dan malam. Nah, paginya jam berapa ?" tanya Dra. Azizah Wati.
Kontan, saya jadi terpana mendengarnya. Biasanya saya meminumkan obat untuk Barra, anak saya yang sedang demam kalau pagi sekitar jam 8-an. Malah suka nyaris jam 9, menunggu dia bangun. Waktunya tidak teratur, kadang jam 8, kadang pula jam 9-an. Hmm...ternyata rentang waktu minum obat, menurut Dra. Azizah sangat penting. Harus diperhatikan rentang waktunya, misal antara 7-8 jam sebelum obat berikutnya. Untuk malam, waktunya bisa lebih lama.
Nah, kalau ada petunjuk obat diminum sebelum makan. Kira-kira berapa rentang waktunya sampai pada waktu makan atau menuju obat berikutnya yang akan diminum setelah makan ? Pertanyaan ini jadi menggelitik saya. Berasa 'blank" betul karena selama ini tidak pernah memperhitungkan hal tersebut.
3 fase minum obat yang perlu kita tahu :
- Sebelum makan. Diantaranya berupa obat maag (antasida) dan anti mual, diminum 1/2 - 1 jam sebelum makan.
- Bersama dengan makanan. Contohnya, obat diabetes (glimepiride).
- Sesudah makan, contohnya obat penghilang rasa sakit (asam mefenamat), bisa diminum segera setelah makan, atau sekitar 1/2 - 1 jam sesudah makan.
Tak hanya rentang waktu, bahan-bahan yang terkandung di dalamnya pun harus diperhatikan. Dra. Azizahwati menghimbau kepada masyarakat agar mengenali maksud dari warna logo pada kemasan obat sehingga bisa diantisipasi efek samping dan risiko kimia yang bisa ditimbulkan.
Banyaknya obat dengan berbagai brand dan solusinya memang mendorong masyarakat sekarang punya inisiatif tinggi untuk berobat sendiri (swamedikasi atau mengoabati sendiri), tanpa resep dokter. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), juga mensinyalir hal tersebut bahwasanya 60 persen masyarakat melakukan pengobatan sendiri. Agar swamedikasi memberikan manfaat yang sesuai harapan yaitu sehat, Dra. Azizahwati giat mensosialiasikan pengenalan obat secara lebih dalam. Diantaranya dengan pemahaman warna logo obat.
Setiap kemasan obat ditandai dengan warna logo, yaitu :
1. Merah, di dalam lingkaran ada huruf K hitam, indikasi untuk obat keras. Obat ini hanya boleh diberikan dari resep dokter. Yang masuk dalam kategori ini diantaranya antibiotik psikotropika, amoksilin, kaptopril, piroksikam, deksametason.
2. Biru, merupakan simbol obat bebas terbatas. Sebenarnya ini obat keras, tetapi longgar, artinya bisa dibeli tanpa resep dokter. Hanya saja, perlu diperhatikan informasi penggunaannya yang terdapat pada kemasan, indikasi dan kontra indikasi, nomor batch, termasuk juga alamat lengkap produsen obat tersebut. Contoh obat ini yaitu dimenhidrinat (obat anti alergi), asam acetylsalisil, Asmadex, ephedrin HCL, Dextromethorphan dan sebagainya.
3. Hijau, obat bebas. Artinya masyarakat dapat membelinya tanpa resep dokter. Yang tergolong obat ini diantaranya paracetamol, vitamin, aspirin, dan sebagainya.
4. Logo menyerupai palang berwarna merah, merupakan obat narkotika.Obat ini dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran serta menimbulkan ketergantungan. Diantara obat narkotika adalah morfin, kodein, petidin dan sebagainya.
Kapan tepatnya kita mengonsumsi obat ?
Ya, kapan sebenarnya kita menggunakan obat ? Pada umumnya, masyarakat memahami, obat adalah penyembuh penyakit dan
pencegah penyakit. Memang tidak salah. Karena dari sisi pengertiannya, obat merupakan sebuah produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (sumber : Buku Saku Informasi Obat, terbitan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dirjen Bina Pelayanan Kefarmasian).
Hanya saja seperti yang diuraikan di awal, sejatinya obat untuk menyembuhkan, namun nyatanya kita tidak bisa memungkiri, obat yang diminum tidak tepat bisa mengundang penyakit lain. Atau justru mematikan bakteri baik, lantaran obat tersebut mendorong aktivasi bakteri jahat dalam tubuh. Hmmm...bingung nggak ? hehhee awalnya saya bingung ketika mendengarkan presentasi dr. Purnamawati. Sp.Ak. Tetapi dengan slide-slide sederhana dan menarik membantu saya lebih memahami rahasia penyembuhan penyakit.
Hehhe...di luar itu, saya sebenarnya termasuk orang yang nggak suka minum obat. Kalau badan tidak enak, batuk, pilek atau kepala berat, biasanya saya beristirahat lebih banyak, kayu putihan, koyoan, kerik-kerik sedikit di leher, banyak minum air putih, konsumsi buah dan sejenak mengistirahatkan kepenatan. Alhamdulillah, tidak pakai lama, stamina saya kembali terbangun. Batuk, atau flu perlahan menyingkir.
Hehhe...di luar itu, saya sebenarnya termasuk orang yang nggak suka minum obat. Kalau badan tidak enak, batuk, pilek atau kepala berat, biasanya saya beristirahat lebih banyak, kayu putihan, koyoan, kerik-kerik sedikit di leher, banyak minum air putih, konsumsi buah dan sejenak mengistirahatkan kepenatan. Alhamdulillah, tidak pakai lama, stamina saya kembali terbangun. Batuk, atau flu perlahan menyingkir.
Sumber : slide presentasi dr. Purnamawati Sp.Ak. |
Ternyata, menurut dr. Purnawati. Sp.Ak, memang tidak semua gejala penyakit harus diatasi dengan obat. Seperti keterangan pada slide tersebut. Batuk, pilek, muntah, diare tanpa darah adalah sederetan gejala yang mengindikasikan tubuh kita sedang lemah sehingga rentan terhadap masuknya virus. Dan, dr. Purnamawati langsung mengatakan, "tidak perlu minum obat" apalagi sampai menelan antibiotik. Gejala ini bisa hilang dengan sendirinya. Karena Tuhan memang sudah mempersiapkan mekanisme pertahanan tubuh yang kuat pada setiap manusia.
Kita terkadang suka panik dengan batuk pilek berdahak, atau diare. Padahal batuk tersebut adalah cara tubuh untuk melindungi paru-paru dari menumpuknya lendir. Atau diare, perut mules, adalah juga cara tubuh membuang racun-racun di dalam perut. Dengan tahu begini, kayaknya kita patut bersyukur nin terserang batuk hehehe. Karena dari gejala tersebut menandakan tubuh sedang demo terhadap apa yang telah kita lakukan. Terlalu giat bekerja hingga memforsir tubuh atau makan sembarangan, stres berlebihan dan sebagainya yang menyebabkan sistem pertahanan tubuh terganggu.
Mengapa batuk pilek, diare tanpa darah, muntah ini bisa sembuh dengan sendirinya. Dr. Purnamawati mengatakan, gejala tersebut disebabkan oleh virus. Dan virus bukan mahluk hidup seperti bakteri. Virus yang dari DNA atau RNA dikelilingi oleh lapisan protein ini tidak dianggap mahluk hidup, karena tidak bisa mereproduksi sendiri dan mereka tidak terdiri dari sel-sel. Kendati begitu, virus bisa berkembang tergantung dari sel inangnya untuk membuat virus tambahan. Virus ini menginfeksi organisme hidup, nggak hanya manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan. Penyakit akibat virus yang menyerang manusia, diantaranya flu, demam, diare tanpa darah, cacar, campak, AIDS.
Agar tubuh kita tetap berstamina baik dan virus segera pergi dari tubuh kita, dr. Purnamawati menyarankan sejumlah langkah, yaitu
Kita terkadang suka panik dengan batuk pilek berdahak, atau diare. Padahal batuk tersebut adalah cara tubuh untuk melindungi paru-paru dari menumpuknya lendir. Atau diare, perut mules, adalah juga cara tubuh membuang racun-racun di dalam perut. Dengan tahu begini, kayaknya kita patut bersyukur nin terserang batuk hehehe. Karena dari gejala tersebut menandakan tubuh sedang demo terhadap apa yang telah kita lakukan. Terlalu giat bekerja hingga memforsir tubuh atau makan sembarangan, stres berlebihan dan sebagainya yang menyebabkan sistem pertahanan tubuh terganggu.
Sumber : Slide presentasi dr. Purnamawati Sp.Ak. |
Agar tubuh kita tetap berstamina baik dan virus segera pergi dari tubuh kita, dr. Purnamawati menyarankan sejumlah langkah, yaitu
- Istirahat
- Banyak minum
- Paracetamol kalau demam & sakit kepala
- Matikan AC
- JANGAN antibiotik
- Akan sembuh sendiri
- Jangan menulari orang lain : menutup mulut saat bersin atau batuk, sebaiknya memakai masker saat batuk atau flu, dan selalu mencuci tangan dengan sabun selama kurang lebih 15 detik.
Di situ jelas, dr. Purnamawati Sp.A.k menyarankan agar obat berupa parasetamol yang diberikan pada saat demam dan sakit kepala. Jangan langsung menggunakan antibiotik jika ingin tubuh kita menjadi resisten (kebal). Di saat tubuh benar-benar membutuhkan antibiotik, menjadi tidak mempan lagi atau resisten. Kalau sudah resisten, terapi standar menjadi tidak efektif, infeksi tetap berlanjut, dan meningkatkan risiko menyebar.
Sumber : slide presentasi dr. Purnamawati |
Penting sekali dipahami, bahwa sekali lagi antibiotik tidak bisa menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Daya kerja antibiotik hanya dapat membunuh bakteri. Jadi, jika penyakit disebabkan oleh virus dihantam dengan antibiotika justru akan membuat sarang bagi bakteri jahat yang tidak bisa dibasmi oleh antibiotika itu makin berkembang biak (mutasi). Bahayanya, pada saat kita benar-benar sedang sakit yang disebabkan oleh bakteri, dan diobati dengan antibiotika, bakteri yang terlanjur telah bersarang tadi menjadi kebal. Akibatnya, dosis antibotika ditambah atau diganti dengan yang lebih kuat dan mahal. Tetapi bagaimana penerimaan tubuh terhadap antibiotik yang lebih kuat ? Hmm...dampaknya lumayan signifikan, seperti pusing, diare, iritasi dan pembekakan di usus. Begitu pula halnya jika antibiotik kita minum untuk penyakit yang disebabkan oleh virus. Hmm...berbahaya juga ya..Obat yang terkesan seperti dewa yang 'Maha Manjur', rupanya "mematikan" jika kita tidak cermat menggunakannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan antibiotika yaitu :
- Gunakan hanya dengan resep dokter. Jangan ragu untuk menanyakan pada dokter setiap resep yang diberikan : mana yang merupakan antibiotika dan bukan, jenis dan resepnya. Tanyakan juga efek sampingnya. Antibiotika tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil.
- Antibiotika harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang.
- Jangan gunakan atau beli antibiotik dengan resep lama.
- Jangan gunakan antibiotik yang diresepkan bagi orang lain.
- Jika penyakit Anda tidak disebabkan oleh bakteri, Anda bisa menolak pemberian antibiotik.
Sudah benarkah kita dalam menyimpan obat ?
Ini kembali menjadi catatan masyarakat yang ber-swamedikasi, sudah tepatkah menyimpan obat di rumah. Pada setiap kemasan obat yang telah lulus uji BPOM pasti menginformasikan perihal tata cara penyimpanan agar kemasannya tetap stabil dan mutu terjaga.
Berikut ini yang menjadi perhatian kita saat menyimpan obat adalah :
- Simpan di tempat yang sejuk, kering, dan terhindar dari sinar matahari langsung. Untuk obat tertentu perlu disimpan dalam lemari pendingin, seperti obat wasir.
- Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
- Simpan dalam kemasan aslinya dan dalam wadah tertutup rapat. Jangan pernah mengganti kemasan botol ke botol lain.
- Jangan mencampur tablet dan kapsul dalam satu wadah.
- Jangan menyimpan kapsul atau tablet di tempat panas dan atau lembab karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan.
- Jangan simpan obat dalam bentuk cair dalam lemari pendingin, kecuali disebutkan pada etiket atau kemasan obat.
- Jangan tinggalkan obat di dalam mobil dalam jangka waktu lama karena perubahan suhu dapat merusak obat tersebut.
- Pisahkan penyimpanan obat dalam dengan obat luar.
- Periksa selalu tanggal kadaluarsa obat.
- Waspadai kerusakan obat dengan ciri : cangkang kapsul lengket, lembek atau berubah warna. Salep berubah warna dan bentuk. Untuk obat jenis sirup menjadi keruh atau timbul endapan/menggumpal, ada perubahan warna dan kekentalan. Sedangkan tablet yang rusak ditandai dengan adanya bintik-bintik, retak, lengket, kemasan menggelembung, bau dan basah.
Wahh..banyak juga ya tipsnya dari talkshow Gema Cermat ini. Semoga kampanye Gema Cermat dapat bena-benar membuat masyarakat semain sadar dan memahami pentingnya mengonsumsi obat secara tepat dan bijaksana.